Wednesday, April 27, 2011

Penggunaan Ekstak Saropus androgynus untuk Meningkatkan Efisiensi Produksi dan Mutu Telur pada Peternakan Ayam Arab Petelur


Oleh: Urip Santoso dan Suharyanto

Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
Jalan Raya W.R. Supratman, Bengkulu
Telpon (0736) 21170, eks. 219; e-mail: santosoburgo60@ahoo.com

ABSTRACT

The purpose of this study was to evaluate the effect of Sauropus androgynus extract (SAE) on productionegg quality and cholesterol content in Arab chickens. Three level of extract supplementation was evaluated. One group of layers was fed diet without SAE (control), other  groups were fed diet with 4.5 g SAE/kg diet or 9 g SAE/kg diet. Each group contained 8 birds which was kept in individual cage. Experimental results showed that the SAE supplementation increased egg production. Yolk colour was increased in layer fed SAE. Egg cholesterol content tended to be increased by SAE supplementation. In conclusion, SAE supplementation improved egg production and quality.

Key words: Sauropus androgynus,  egg production, egg quality, cholesterol

ABSTRAK

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh suplementasi ekstrak daun katuk (EDK) untuk meningkatkan produksi dan mutu telur. Dua puluh empat ayam Arab didistrbusikan ke dalam 3 perlakuan. Satu kelompok tidak diberi EDK (kontrol), sedangkan kelompok lainna diberi 4,5 g EDK/kg pakan atau 9 g EDK/kg pakan. Setiap kelompok terdiri atas 8 ekor ayam Arab petelur yang dipelihara dalam kandang kawat individu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ayam petelur yang diberi ekstrak daun katuk (4,5 g maupun 9 g/kg pakan) meningkatkan produksi telur. Warna kuning telur juga meningkat, dimana untuk kontrol nilainya 4,38, untuk yang diberi 4,5 g ekstrak 4,75 dan yang diberi 9 g ekstrak 5,75. Sementara variabel kualitas telur lain seperti tebal kerabang, indeks kuning telur, indeks putih telur dan HU tidak banyak perubahan. Hasil analisis kolesterol menunjukkan bahwa pemberian EDK cenderung menurunkan kadar kolesterol telur. Dapat disimpulkan bahwa suplementasi EDK memperbaiki produksi dan mutu telur.

Kata kunci: Katuk,  mutu telur, produksi telur, kolesterol

Tuesday, April 26, 2011

Reduction of fat accumulation in broiler chickens by Sauropus androgynus (katuk) leaf meal supplementation

U. Santoso and Sartini
Department of Animal Science, Faculty of Agriculture, Bengkulu University
Jl. Raya Kandang Limun, Bengkulu, Indonesia

Abstract: The present study was designed to evaluate the usefulness of Sauropus androgynus leaf (SAL) meal on reducing fat accumulation in broiler chickens. Eighty unsexed broiler chickens were allocated to four treatment groups with five replicates of four chickens each. SAL meal supplementation had no effect on body, leg, back, breast, wing, liver and heart weights, carcass protein, moisture and ash cotnets (P>0.05). Broiler fed diets supplemented with 30 g of SAL meal had lower feed intake with better feed conversion ratio (P<0.05) than did the control chickens. SAL supplementation at all levels significantly reduced fat accumulation in abdomen region, and liver (P<0.01), and in carcass (P<0.05). Higher SAL supplementation resulted in lower fat accumulation in the carcass (r2= 0.94; P<0.01), abdomen (r2=0.99; P<0.01) and liver (r2=0.98; P<0.01). The current study showed that a 30 g supplementation of SAL meal to the broiler diet (30 g SAL meal/kg diet) was effective to improve feed conversion ratio without reducing body weight. SAL meal supplementation to the diet reduced fat accumulation in broiler chickens (Asian-Australasian Journal of Animal Science, 2001, 14 (3): 346-350)
Key words: Sauropus androgynus leaf meal, caracass fat, abdominal fat, broiler

Monday, April 18, 2011

MANFAAT DAUN KATUK BAGI KESEHATAN MANUSIA DAN PRODUKTIVITAS TERNAK


Oleh: Prof. Urip santoso
            Setelah manusia mengarungi samudra dunia modern dengan segala kemudahan sebagai hasil perkembangan teknologi, manusia mulai menyadari bahwa segala sesuatu yang tidak seimbang, tidak fitrah atau tidak alami dapat membawa akibat kurang baik bagi kesehatannya. Perubahan pola makan manusia modern ternyata mengakibatkan berbagai penyakit yang dahulunya kurang dominan sebagai penyebab kematian, sekarang menduduki peringkat atas. Semakin hari semakin banyak manusia yang terkena kanker, stroke, penyakit penyempitan pembuluh darah, penyakit jantung, kencing manis, dan berbagai penyakit degeneratif lainnya, sebagai akibat salah makan atau makan yang berlebihan.
            Hal ini kemudian memicu masyarakat untuk kembali ke alam. Diyakini bahwa sesuatu yang alami baik pada pola pangan, ataupun penggunaan bahan alami sebagai obat akan membawa efek negatif yang lebih sedikit. Dengan demikian, umur fisiologis dari sel dapat diperpanjang. Di Eropa dan Amerika Serikat misalnya, penggunaan tumbuhan obat sebagai alternatif obat kimia telah  banyak di teliti dan diproduksi. Tumbuhan obat juga telah banyak diteliti untuk meningkatkan kesehatan dan produktivitas ternak.
            Indonesia dengan kekayaan keanekaragaman hayatinya, mempunyai potensi yang sangat besar untuk menyediakan obat alami, mengingat banyak tumbuhan obat yang tumbuh dengan baik. Sejak jaman dulu bangsa Indonesia telah mengenal tumbuhan obat dan memanfaatkannya untuk menjaga kesehatan dan mengobati penyakit. Pemanfaatan tumbuhan obat tersebut diperoleh berdasarkan empirik dan pengalaman yang diturunkan dari nenek moyang kita. Pengobatan dengan bahan asal tumbuhan disebut fitoterapi yang dalam penerapannya pada waktu ini dikenal dalam bentuk jamu dan fitofarma.
            Sampai dengan pertengahan abad XX fitoterapi memegang peranan penting untuk upaya pencegahan dan penyembuhan penyakit. Setelah mengalami masa surut akibat desakan bahan aktif hasil sintesis kimia, pada 20 tahun terakhir ini bahan obat asal tumbuh-tumbuhan semakin mendapat perhatian kembali, baik sebagai obat tradisional jamu, fitofarma maupun sumber senyawa murni. Kecenderungan ini banyak didorong oleh berbagai kejadian buruk akibat obat yang berasal dari senyawa kimia hasil sintesis dan juga tidak lepas dari kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terkait, seperti botani, kimia, farmasi dan farmakologi yang memungkinkan konsep metode berdasar dan lebih pasti atas khasiat sediaannya. Oleh karena itu, khasiatnya tidak usah diragukan lagi.
            Sediaan asal tumbuhan yang sudah jelas khasiat, keamanan dan stabilitasnya disebut fitofarmaka. Jadi, industri fitofarmaka adalah industri farmasi yang bersumber pada tumbuh-tumbuhan dan merupakan produk IPTEK  tumbuhan obat. Pengembangan industri fitofarmaka akan mendorong usaha pelestarian tumbuhan obat dan industri budidaya tanaman obat, simplisia, sediaan galenik, fraksi atau kelompok senyawa bioaktif yang mempunyai mutu standar dan lebih jauh ke arah kemoterapi.
            Salah satu tumbuhan obat yang berpotensi besar namun belum banyak dilirik dan dikembangkan sebagai komoditas unggulan adalah “katuk” (Sauropus androgynus).

Saturday, April 16, 2011

Effects of fermented products from chub mackerel extract on growth and carcass composition, hepatic lipogenesis and on contents of various lipid fractions in the liver and the thigh muscle of broilers

K. Tanaka, B. S. Youn, U. Santoso*, S. Ohtani and M. Sakaida
Faculty of Agriculture, Gifu University, Gifu-shi, 501-11 Japan
*Department of Animal Science, Faculty of Agriculture, Bengkulu University, Bengkulu Indonesia

Abstract. The present experiment was conducted to determine the effects of dietary fermented products from chub mackerel extracts (fermented mackerel extracts) on growth, carcass composition, contents of various lipid fractions in the liver, the serum, and the thigh muscle, and activities of lipogenic-related enzymes in the liver of broilers. Fermented mackerel extracts supplementation resulted ini an insignificant slight increase in final body weights of broilers. Fermented mackerel extract did not affect liver weights, but abdominal fat weights of female broilers were significantly decreased by the addition of 2.0% fermented mackerel extracts. Lipid fraction contents of the serum and the liver of broilers were unaffected by fermented mackerel extracts. Triglyceride and free cholesterol contents of the thigh muscle of broilers were significantly decreased or tended to be decreased by adding 1.0 or 2.0% fermented mackerel extracts. Activities of acetyl-CoA carboxylase and faftty acid synthetase in the liver were not affected by dietary feremented mackerel extracts. However, activities of malic enzyme, citrate cleavage enzyme and HMG-CoA reductase in the liver were significantly decreased by 1.0 or 2.0% fertmented mackerel extracts. Dietary fermented mackerel extracts tended to decrease the proportion of crude fat and to increase that of moisture in broiler carcasses (Anim. Sci. Technol. (Jpn), 63 (1): 32-37, 1992
Key words: chub mackerel extracts, broilers, hepatic lipogenesis, carcass composition, abdominal fat

Effects of fermented products from the chub mackerel on growth, and on lipogenesis and contents of various lipids in the liver of growing chicks

K. Tanaka, B. S. Youn, S. Ohtani and M. Sakaida
Faculty of Agriculture, Gifu University, Gifu-shi, 501-11 Japan

Abstract. This experiment was conducted to determine the effect of dietary fermented products from the chub mackerel on contents of various lipid fractions in the liver and the plasma, and on activities of lipogenic-related enzymes in the liver of growing chicks. Forty chicks (SCWL male, 4 weeks of age) were weighed individually and divided into five groups of eaight chicks each, which were fed the diet containing either 0 (control group), 0.2, 0.5, 1.0 or 2% with fermented products from the chub mackerel (chub mackerel extracts). Chicks were fed the experimental diets for 21 days. Dietary chub mackerel extracts improved body weight gains of chicks. Abdominal fat weights were significantly decreased by the addition of 1.0 or 2.0% chub mackerel extracts. The 1.0 or 2% extracts to the diet showed the tendency of decreases in the triglyceride and free cholesterol concentrations in the plasma of chicks. When 1.0 or 2.0% chub mackerel extract was supplemented to the diet, the triglyceride and free cholesterol contents in the liver of chicks were significantly decreased. Similarly, the addition of more than 0.5% extracts to the diet caused significantly reduction in the cholesterol in the liver of chicks. Activities of acetyl-CoA carboxylase, fatty acid synthetase and 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA reductase in the liver of chicks tended to be decreased and were significantly decreased by the addition of 1.0 or 2% chub mackerel extracts to the diet (Jpn. J. Zootech. Sci., 61 (12): 1102-1106, 1990.
Key words: chub mackerel extract, growing chick, lipogenesis, HMG-CoA reductase

Friday, April 15, 2011

Effect of fermented chub mackerel extract on lipid metabolism of rats fed diets without cholesterol

U. Santoso*, S. Ishikawa and K. Tanaka
Laboratory of Animal Nutrition, Division of Bioresources and Bioproduction, Graduate School of Agriculture, Hokkaido University, Sapporo 060-0809, Japan
*Department of Animal Science, Faculty of Agriculture, Bengkulu University, Bengkulu Indonesia
Abtract. The present study was conducted to evaluate the effect of fermented chub mackerel extract (FCME) on lipid metabolism in rats fed diets without cholesterol. Four week-old male rats were divided into three groups of 10 rats with 0, 1 or 2% FCME supplementation to the diets. Ourified diets were used in the present study. Feed and water were fed ad libitum. FCME supplementation had no effect on the activities of acetyl-CoA carboxylase, fatty acid synthetase, and the content of free cholesterol, triglyceride and phospholipids in the liver (P>0.05). 1% FCME supplementation significantly increased serum triglyceride (P<0.05) and hepatic 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA reductase activity (P<0.05) with no effect on serum total cholesterol, free cholesterol and phospholipids concentration. FCME supplementation significantly reduced serum LDL+VLDL-cholesterol (P<0.01) and atherogenic index (P<0.01) with no effect on HDL-cholesterol. The current study showed that FCME inclusion might reduce the risk of atherosclerosis in rats fed diet without cholesterol (Asian-Australasian Journal of Animal Science, 2001, 14 (4): 535-539.
Key words: Fermented chub mackerel extract, lipid metabolism, rats

Thursday, April 14, 2011

Effect of fermented chub mackerel extract on lipid metabolism of rats fed a high-cholesterol diet

U. Santoso*, S. Ishikawa and K. Tanaka
Laboratory of Animal Nutrition, Division of Bioresources and Bioproduction, Graduate School of Agriculture, Hokkaido University, Sapporo 060-0809, Japan
*Department of Animal Science, Faculty of Agriculture, Bengkulu University, Bengkulu Indonesia

Abstract. The present study was conducted to evaluate effect of fermented chub mackerel extract (FCME) on lipi metabolism of rats fed a diet supplemented wit 1% cholesterol. Four week-old male rats were divided into three groups of 15 rats with 0, 1% or 2% FCME supplementation. In comparison with control, rats fed 2% FCME showed reduction of activities of acetyl-CoA carboxylase (P<0.05), 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA reductase (P<0.01) and fatty acid synthetase (P<0.01). Rats fed 2% FCME also showed reduction in free cholesterol in the liver (P<0.05), and in the concentration of free cholesterol (P<0.05), LDL+VLDL-cholesterol (P<0.05), triglyceride (P<0.01) and phospholipids (P<0.01 in the plasma. Plasma HDL-cholesterol concentration was significantly (P<0.05) higher in treatment groups as compared with control group. Atherogenic index was also significantly lower in rats fed 1% or fed 2% supplemented diet, whereas bile acid in feces was not significantly affected. The current study showed that 2% inclusion level of fermented chub mackerel extract might have hypolipidemic properties (Asian-Australasian Journal of Animal Science, 2000, 13 (4): 516-520.
Key words: Fermented chub mackerel extract, hig cholesterol diet, lipid metabolism, atherogenic index

Effect of Fermented Chub Mackerel Extract on Lipid Metabolism of Diabetic Rats

U. SANTOSO*, S. ISHIKAWA and K. TANAKA
Laboratory of Animal Nutrition, Division of Bioresources and Bioproduction, Graduate School of Agriculture, Hokkaido University, Sapporo 060-0809, Japan
*Department of Animal Science, Faculty of Agriculture, Bengkulu University, Bengkulu Indonesia

ABSTRACT. The present study was conducted to evaluate the effect of fermented chub mackerel extract (FCME) on lipid metabolism in diabetic rats. Four week-old male Wistar rats were divided into three groups based on weight. All rats were induced with diabetes mellitus by single intraperitoneal injection of streptozotocin at 45 mg/kg body weight. Thereafter, they were randomly distributed to three treatments with 7 rats assigned to each treatment. One group was the control with no additive, and two-treatment groups were given the purified diets supplemented with 1% or 2% FCME. Experimental results showed that in comparison with the control, diabetic rats fed FCME increased feed intake (p<0.01) and body weight gain (p<0.05). FCME inclusion significantly reduced the activities of acetyl-CoA carboxylase (p<0.01) and fatty acid synthetase (p<0.05) in diabetic rats. FCME significantly increased cholesterol 7alfa-hydroxylase with no effect on HMG-CoA reductase activity. FCME had no effect on hepatic triglyceride, free cholesterol and phospholipid. FCME inclusion at 1% level significantly reduced serum triglyceride. FCME significantly increased HDL-cholesterol (p<0.05) with no effect on LDL + VLDL-cholesterol, and significantly reduced atherogenic index. FCME did not significantly affect serum insulin and glucose concentration. In conclusion, FCME supplementation altered lipid metabolism in diabetic rats. FCME supplementation reduced the risk of atherosclerosis in diabetic rats (research report, 1995).
Key words: Fermented chub mackerel extract, lipid metabolism, diabetic rat

Effect of dried Bacillus subtilis culture on growth, body compotion and hepatic lipogenic enzyme activity in female broiler chicks

U. Santoso1, K. Tanaka2 and S. Ohtani
1 Department of Animal Science, Faculty of Agriculture, Bengkulu University, Bengkulu Indonesia
2 Faculty of Agriculture, Gifu University, Gifu-shi, 501-11 Japan

Abstract. To investigate the effect of dried Bacillus subtilis culture on growth, body composition and hepatic lipogenic enzyme activity, female broiler chicks were fed on either no additive (control) or dried B. subtilis culture supplemented commercial diets (215 g crude protein/kg, 12.85 MJ metabolizable energy/kg) at 10 or 20 g/kg diet for 28 d from 14 to 42 d of age. Body weight, and moisture, fat, protein and ash contents of the body were not influenced by the B. subtilis culture. Feed efficiency, N utilization, the ratio of abdominal fat or liver to body weight, acetyl-CoA carboxylase (EC 6.4.1.2) activity, liver and serum cholesterol contents were significantly lower in treatment groups, while fatty acid synthetase activity and serum cholesterol concentration were not significantly different, compared with the control group. Liver triacylglycerol concentration was decreased in chicks given 20 g culture/kg diet, while serum and carcass triacylglycerol concentrations were significantly lower in treatment groups than in the control group. Serum phospholipids concentration was increased but carcass phospholipids concentration was decreased in chicks given 20 g B. subtilis/kg diet, while liver phospholipids concentration was not significantly influenced. The advantages of inclusion of B. subtilis to the broiler diet included improved feed efficiency, less abdominal fat, reduced triacylglycerol concentrations in the liver, serum and carcass and reduced cholesterol concentrations in the liver and carcass (British Journal of Nutrition (1995), 74: 523-529.
Key words: Bacillus subtilis culture, feed efficiency, abdominal fat, cholesterol, triacylglycerol

Wednesday, April 13, 2011

Chemical composition change in layers faeces fermented with effective microorganisms

U. Santoso, D. Kurniawati and J. Setianto
Department of Animal Science, Agriculture Faculty, Bengkulu University, Bengkulu, Indonesia

Abstract. The present study was conducted to evaluate a change in the chemical composition of layer faeces when it was fermented with commercial effective microorganisms (EM4). The experiment involved six treatment groups in which layer faeces were fermented with 0 ml (P0), 1.2 ml (P1), 2.4 ml (P2), 3.6 ml (P3), 4.8 ml (P4) or 6 ml (P5) commercial EM4 per 100 gram faeces. A faeces sample were then fermented at anaerobic condition for 4 days under room temperature. Fermented faeces were then dried at 55oC for 2 days, grounded, and stored in asealed plastic bag before subjected to proximate analysis. The energy content of faeces was calculated from proximate analysis. Experimental results showed that effective microorganism fermentation significantly (P<0.05) reduced crude fiber and protein of faeces (P<0.01), and significantly increased fat (P<0.05), nitrogen free extract (P<0.01), energy (P<0.01) and ash content (P<0.05) of faeces. Moisture was not significantly affected by fermentation. The weights of dry matter (P<0.05) and organic matter (P<0.01) of faeces were significantly reduced by effective microorganism fermentation. In conclusion, the fermentation by EM4 was effective to increase ash, nitrogen free extract and energy of faeces but it was not effective to increase the protein content of faeces (Majalah Ilmiah Peternakan, 2004, 7 (3): 90-93).
Key words: layer faeces, effective microorganism, crude fiber, energy, protein

Tuesday, April 12, 2011

Budidaya Ayam Petelur


 
i
1. SEJARAH SINGKAT
Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Asal mula ayam unggas adalah berasal dari ayam hutan dan itik liar yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Tahun demi tahun ayam hutan dari wilayah dunia diseleksi secara ketat oleh para pakar. Arah seleksi ditujukan pada produksi yang banyak, karena ayam hutan tadi dapat diambil telur dan dagingnya maka arah dari produksi yang banyak dalam seleksi tadi mulai spesifik. Ayam yang terseleksi untuk tujuan produksi daging dikenal dengan ayam broiler, sedangkan untuk produksi telur dikenal dengan ayam petelur. Selain itu, seleksi juga diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan ayam petelur cokelat. Persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga menghasilkan ayam petelur seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali persilangan, sifat jelek dibuang dan sifat baik dipertahankan (“terus dimurnikan”). Inilah yang kemudian dikenal dengan ayam petelur unggul.
Menginjak awal tahun 1900-an, ayam liar itu tetap pada tempatnya akrab dengan pola kehidupan masyarakat dipedesaan. Memasuki periode 1940-an, orang mulai mengenal ayam lain selain ayam liar itu. Dari sini, orang mulai membedakan antara ayam orang Belanda (Bangsa Belanda saat itu menjajah Indonesia) dengan ayam liar di Indonesia. Ayam liar ini kemudian dinamakan ayam lokal yang kemudian disebut ayam kampung karena keberadaan ayam itu memang di pedesaan. Sementara ayam orang Belanda disebut dengan ayam luar negeri yang kemudian lebih akrab dengan sebutan ayam negeri (kala itu masih merupakan ayam negeri galur murni). Ayam semacam ini masih bisa dijumpai di tahun 1950-an yang dipelihara oleh beberapa orang penggemar ayam. Hingga akhir periode 1980-an, orang Indonesia tidak banyak mengenal klasifikasi ayam. Ketika itu, sifat ayam dianggap seperti ayam kampung saja, bila telurnya enak dimakan maka dagingnya juga enak dimakan. Namun, pendapat itu ternyata tidak benar, ayam negeri/ayam ras ini ternyata bertelur banyak tetapi tidak enak dagingnya.
Ayam yang pertama masuk dan mulai diternakkan pada periode ini adalah ayam ras petelur white leghorn yang kurus dan umumnya setelah habis masa produktifnya. Antipati orang terhadap daging ayam ras cukup lama hingga menjelang akhir periode 1990-an. Ketika itu mulai merebak peternakan ayam broiler yang memang khusus untuk daging, sementara ayam petelur dwiguna/ayam petelur cokelat mulai menjamur pula. Disinilah masyarakat mulai sadar bahwa ayam ras mempunyai klasifikasi sebagai petelur handal dan pedaging yang enak. Mulai terjadi pula persaingan tajam antara telur dan daging ayam ras dengan telur dan daging ayam kampung. Sementara itu telur ayam ras cokelat mulai diatas angin, sedangkan telur ayam kampung mulai terpuruk pada penggunaan resep makanan tradisional saja. Persaingan inilah menandakan maraknya peternakan ayam petelur.
Ayam kampung memang bertelur dan dagingnya memang bertelur dan dagingnya dapat dimakan, tetapi tidak dapat diklasifikasikan sebagai ayam dwiguna secara komersial-unggul. Penyebabnya, dasar genetis antara ayam kampung dan ayam ras petelur dwiguna ini memang berbeda jauh. Ayam kampung dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa baiknya. Sehingga ayam kampung dapat mengantisipasi perubahan iklim dengan baik dibandingkan ayam ras. Hanya kemampuan genetisnya yang membedakan produksi kedua ayam ini. Walaupun ayam ras itu juga berasal dari ayam liar di Asia dan Afrika.
2. SENTRA PETERNAKAN
Ayam telah dikembangkan sangat pesat di setiapa negara. Sentra peternakan ayam petelur sudah dijumpai di seluruh pelosok Indonesia terutama ada di Pulau Jawa dan Sumatera, tetapi peternakan ayam telah menyebar di Asia dan Afrika serta sebagian Eropa.

Effect of fermented product from Bacillus subtlis on feed conversion efficiency, lipid accumulation and ammnonia production in broiler chicks


U. Santoso1, K. Tanaka2, S. Ohtani3 and M. Sakaida4
1 Department of Animal Science, Faculty of Agriculture, Bengkulu University, Bengkulu Indonesia
2Laboratory of Animal Nutrition, Division of Bioresources and Bioproduction, Graduate School of Agriculture, Hokkaido University, Sapporo 060-0809, Japan
3 Faculty of Agriculture, Gifu University, Gifu-shi, 501-11 Japan
4 Japan Biotics Company, Japan
Abstract. This study investigated the effect of fermented product from Bacillus subtilis (FPBS) on feed conversion efficiency, fat accumulation and ammonia production in broiler chicks. Sixty female broilers (strain Chunky, 7-day old) were divided into four groups and raised in individual cages. One group was fed a commercial diet without supplementation of FPBS as the control and the other groups were fed commercial diets containing FPBS, either 0.5, 1.0 or 2.0%, for 21 days from 7 to 28 days of age. Water and feed were given ad libitum. Feed conversion efficiency was significantly improved in chicks supplemented with 0.5 or 1% of FPBS as compared with the control (P<0.05). The activities of hepatic acetyl-CoA carboxylase and fatty acid synthetase, and contents of triglyceride and cholesterol in the liver were significantly decreased in treatment groups (P<0.05) as compared with the control group. FPBS has no effect on the concentration of plasma triglyceride, phospholipids and cholesterol. Feeding FPBS at 1% or 2% levels reduced ammonia gas release (P<0.05). The inclusion of FPBS at 1% level may be recommended both to improve production efficiency and to reduce air pollution caused by ammonia gas release. For production efficiency to reach maximal profit, the inclusion of FPBS at 0.5% level can be recommended. Feeding FPBS reduced fat accumulation in the liver (Asian-Australasian Journal of Animal Science, 2001, 14 (3): 333-337).
Key words: Fermented product, Bacillus subtilis, feed conversion efficiency, ammonia gas release, lipid accumulation.

Monday, April 11, 2011

Konsumsi Protein Asal Ayam Ras

Oleh: Urip Santoso

            Telah diketahui bahwa protein memegang peranan yang sangat penting bagi kesehatan manusia. Protein antara lain berperan penting dalam perkembangan sel otak, memelihara dan mengganti sel yang rusak dll. peranan ini tidak tergantikan oleh zat nutrisi lainnya. Oleh sebab itu, protein harus ada dalam makanan manusia.

            Kebutuhan protein bagi manusia berbeda-beda tergantung kepada umur, jenis aktivitas dll. menurut Winarno et al (1980) sebaiknya 25% dari kebutuhan protein dipenuhi dari hewan. Misalnya bila kita membutuhkan 51 gram protein setiap harinya (kebutuhan orang dewasa), maka protein hewaninya adalah 12,75 gram per hari denganprotein nabatinya sebesar 38,25 gram. Kebutuhan protein dari hewani ini dapat dipenuhi dari ikan atau produk air lainnya dan dari ternak. Jika target minimal konsumsi protein asal ternak sebanyak 5 gram, maka sisanya dapat dipenuhi dari ikan sebesar 7,75 gram. Ikan  selain sebagai sumber protein juga kaya akan asam lemak omega 3 yang mempunyai peranan penting bagi perkembangan sel otak, retina mata dll. disinyalir asam lemak ini dapat meningkatkan perkembangan kecerdasan anak-anak.protein asal hewan sangat penting bagi kita karena komposisi asam aminonya lebih seimbang, sumber mineral penting, dan sumber vitamin B12 yang tidak ada dalam produk nabati, dan yang penting lebih lezat. Variabilitas konsumsi sumber protein ini sangat penting untuk memberikan pengaruh suplementari yang positif. Hal ini dapat melengkapi kekurangan yang ada pada satu jenis sumber protein. Selain karena dapat menyeimbangkan asam amino yang dikonsumsi, maka dengan variabilitas tersebut, akan diperoleh keseimbangan zat gizi lainnya, mengingat sumber protein yang dikonsumsi bukanlah protein murni.

Protein asal Ayam Ras

            Kebutuhan protein asal ternak bagi masyarakat Indonesia ditargetkan sebesar 5 gram/kapita/hari yang terdiri dari daging 22 gram, telur 6 gram dan susu 6 gram per kapita per hari. Variabilitas konsumsi protein asal ternak ini perlu dilakukan, selain dapat memberikan pengaruh suplementer, untuk menghindari kebosanan, dan juga dapat menciptakan variabilitas lapangan pekerjaan. Namun, tentunya jumlah tersebut bukan merupakan harga mati. Kita bisa saja membeli sumber protein hewani yang sesuai dengan kemampuan ekonomi ini. Dari semua produk ternak, maka daging asal ayam atau unggas lainnya dan telur merupakan sumber protein yang relative lebih murah. Oleh karena itu sangatlah wajar jika konsumsi produk asal ayam meningkat  cukup tajam (Tabel I).
            Dari table I terlihat bahwa konsumsi telur meningkat dari 1,8 kg/kapita/tahun pada tahun 1985 menjadi 3,1 kg pada tahun 1996 atau naik sebesar 72%. Konsumsi daging broiler juga meningkat dari 2,0 kg pada tahun 1985 menjadi 4,9 kg atau naik sebesar 145%. Dapat dilihat bahwa konsumsi daging broiler meningkat lebih pesat daripada telur. Padahal harga telur relatif lebih murah daripada daging broiler. Prilaku konsumen ini kurang diketahui sebabnya. Ada dugaan bahwa lebih rendahnya konsumsi telur berkaitan dengan kandungan kolensterol yang tinggi pada telur. Diketahui bahwa kolesterol dapat meningkatkan kolesterol darah dan merupakan salah satu penyebab penyakit jantung koroner. Meskipun demikian, ada ahli yang membuktikan bahwa mengkonsumsi telur dalam jumlah yang wajar tidak akan menaikkan kolesterol darah.
Konsumsi daging broiler sebesar 4,9 kg ini kira-kira sudah mencapai 60,5% dari target konsumsi daging sebesar 8,1 kg. Ini menunjukkan bahwa daging broiler telah dipilih oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Jumlah konsumsi telur sebesar 3,1 kg per kapita per tahun pada tahun 1996 ini telah melebihi target minimal konsumsi telur. Mengingat telur juga merupakan sumber protein asal ternak yang murah, maka kemungkinan akan terjadi peningkatan konsumsi di masa yang akan datang. Oleh sebab itu komposisi konsumsi protein asal ternak telah diubah, dimana konsumsi telur ditargetkan menjadi 4 kg/kapita/tahun. Sementara itu, diperkirakan konsumsi daging asal ruminansia (kambing, sapi, kerbau, domba) kurang meningkat pesat dikarenakan harganya yang mahal, maka diharapkan sumber protein asal daging dapat dipenuhi dari daging ayam yang harganya lebih murah.
            Jika kita hitung konsumsi asal ayam ini secara kasar, maka ditemukan angka sebesar 3,7 gram/kapita/hari. Perlu diingat bahwa konsumsi ini belum termasuk konsumsi protein asal unggas lain seperti ayam buras, itik, angsa, entok, puyuh dll. konsumsi protein asal unggas lain ini diduga cukup banyak jumlahnya.

Sunday, April 10, 2011

Telur Asin Aneka Rasa



Dikompilasi Oleh: Urip Santoso
            Siapa yang tidak kenal dengan telur asin? Rasanya semua kenal, bukan? Banyak cara untuk membuat telur asin. Ada yang menggunakan adonan garam + abu, adonan tanah liat + gram, adonan batu bata + garam dan ada pula yang menggunakan larutan garam jenuh. Masing-masing cara mempunyai kelebihan dan kekurangan. Selain cara-cara di atas, sekarang ini telah dikenalkan telur asin berbagai rasa, seperti rasa bawang, rasa strawberry, rasa durian, rasa jahe dll. Menarik bukan?

A. Pemilihan Telur.

Sebelum diasinkan, Anda harus memilih telur yang baik kondisinya. Oleh sebab itu, periksalah kondisi telur. Telur yang dipilh adalah telur yang bermutu tinggi, belum pernah dierami. Hindari telur yang kerabangnya retak atau pecah kulit, karena selama dalam perendaman putih telurnya akan menerobos keluar dan membuat larutan perendamannya berbau busuk. Juga, sebaiknya jangan memilh telur dengaan kerabang yang tipis, karena akan mudah retak selama proses pengasinan.

Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan telur-telur tersebut kedalam suatu wadah atau bak plastik yang telah diisi dengan air, kemudian mengamati posisi telur telur tersebut di dalam air. Telur yang melayang. harus segera dipisahkan, sedangkan telur yang tengelam atau yang setengah melayang dibiarkan terendam beberapa saat sehingga kotorannya mudah dibersihkan. Telur-telur yang baik tersebut, kemudian dicuci dengan sabun dan dibilas dengan air sampai bersih, dan kemudian ditiriskan.

Pemeriksaan telur bisa juga dilakukan seperti langkah-langkah berikut :
1. Kelompokkan telur berdasarkan tingkat kebersihannya. kemudian bersihkan mulai dari kelompok kotor kemudian kelompok yang sangat kotor.
2. Telur yang kurang kotor dapat dibersihkan dengan kain/busa halus yang kering atau ampelas nomor 0. Telur yang  kotor dan sangat kotor ditempatkan di wadah terpisah dan dibersihkan dengan cara merendamnya dalam air detergen hangat selama 2 menit untuk melepaskan kotoran yang sudah mengering.
3. Teropong telur yang sudah kering. Perhatikan keutuhan kerabang, keadaan isi telur dan rongga udaranya. Pilihlah telur yang kerabangnya utuh/tidak retak dan isi telur terlihat bersih serta memiliki rongga udara lebih kecil.

Saturday, April 9, 2011

The effect of feremented feces on growth, fat deposition and carcass quality in broiler chickens


U. Santoso, F. Nengsih, A. Rozal, J. Setianto and S. Kadarsih
Department of Animal Science, Agriculture Faculty, Bengkulu University, Bengkulu, Indonesia

Abstract. The present study was conducted to evaluate effect of fermented feces on growth, fat deposition and carcass quality in broiler chickens. Randomized completely factorial design (2 x 2) was used to evaluate the level of feces feeding [10% (L1) or 15% (L2) inclusion to diet] and the level of EM4 to ferment feces [0 (E0), 1.2 (E1) or 6.0 ml/100 g feces (E2)]. Experimental results showed that level of feces feeding had no effect on weight gain and feed conversion ratio (P>0.05), but it significantly increased feed intake (P<0.05). EM4 level had no effect on weight gain and feed conversion ratio, but it significantly increased feed intake (P<0.01). Feeding 10% feces fermented by 1.2 ml EM4 had the lowest mortality. Level of feces feeding had no effect on abdominal fat, carcass weight, carcass percentage, cooking loss, meat bone ratio and drumstick circle. EM4 level also had no effect on those variables. EM4 level significantly increased carcass and meat color (P<0.01), meat taste (P<0.01), and significantly reduced meat smell (P0.05). In conclusion, feeding 1.2 ml EM4 fermented feces at level of 10% resulted in the best performance. Fermented feces resulted in better carcass quality as compared with those of unfermented feces with no effect on abdominal fat deposition (J. Indon. Trop. Anim. Agric., 29 (1): 27-32, 2004.
Key words: EM4, layer faeces, fermentation, performance, carcass quality

Friday, April 8, 2011

Mana Yang Muncul Duluan, Ayam atau Telur



i
Quantcast
Adrizal, Juli 2010
Tidak ada yang tahu pasti kapan anekdot atau semacam teka-teki iseng mengenai mana yang duluan “Telur atau Ayam” ini pertama kali muncul. Mungkin secara iseng pula jawabannya bergantung kepada pertanyaannya. Bila pertanyaan dimulai dengan “Telur atau Ayam”, maka jawabannya adalah “Telur’. Sebaliknya, bila pertanyaannya diawali dengan “Ayam atau Telur”, maka jawabannya adalah “Ayam’. Sebuah tekateki yang tidak ada ujungnya.
Ilmu pengetahuan memang dasyat, dan bahkan lebih dahsyat lagi kemampuan manusianya! Bayangkan saja, pesawat yang ribuan kg beratnya itu saja bisa dibikin terbang mengangkasa oleh manusia. Kalau dulu pepatah “Bagaikan Pungguk Merindukan Bulan” adalah ungkapan sindiran terhadap cita-cita yang mustahil terpenuhi, tetapi sejak wahana Apollo diluncurkan, maka “Pungguk pun Pantas Merindukan Bulan!”, sebab tinggal naikkan saja Si Pungguk ke pesawat ulang alik dan bawa terbang ke bulan! Mimpi menjelajah ruang angkasapun bukan harapan kosong. Hal ini bahkan bakal dibuat nyata oleh perusahaan Virgin Galactic dengan wahana SpaceShipTwo nya untuk piknik pada ketinggian suborbital (100 km dari permukaan bumi). Misi pesawat/satelit yang di kirim ke angkasa sanapun sudah hampir mampu menjangkau ke benda planet terjauh tatasurya kita, Pluto.
Bicara soal sekuensi dan amplifikasi gen, unsur dasar penyusun materi makhluk hidup, bukan pula hal yang mustahil. Dengan konsep yang pertama kali dikemukan oleh Karry Mullis, jiplakan (kopi) DNA dapat dibuat dengan metode PCR. Metode ini kemudian disempurnakan sehingga orang mampu mendeteksi sifat hereditas, penyakit, menentukan adanya hubungan darah/orang tua biologis hingga ke pmastian pelaku kejahatan. Gen unggas dan manusiapun kini sudah komplit terpetakan, sehingga memudahkan para ahli mengontrol sifat-sifat negatif/penyakit yang berahaya atau yang tidak diinginkan.
Penemuan terkini adalah dalam hal menjawab kemungkinan yang duluan muncul, “Ayam atau Telur”. Baru-baru ini serangkaian riset simulasi metadinamik berhasil mengungkapkan bahwa ayam adalah yang muncul duluan, baru kemudian telur. Berita ini dirilis oleh majalah World Poultry Online baru-baru ini dan disiarkan beberapa media internasional termasuk CNN serta diterbitkan di jurnal Angewandte Chemie edisi internasional. Penemuan penting ini di dasarkan kepada fakta bahwa pembentukan kulit (cangkang) telur bisa terjadi karena dipicu oleh sebuah protein pengontrol yang hanya terdapat pada ovarium (indung telur) ayam. Dengan demikian sebuah telur hanya bisa dibuat di dalam tubuh ayam, dan bukan sebaliknya! Adalah Dr. Colin Freeman dan tim dari Universitas Sheffield serta koleganya dari Universitas Warwick di Edinburgh yang mengamati kerja protein spesifik tersebut menggunakan komputer super canggih bernama HECToR. Protein tersebut dinamakan Ovocledidin-17 (OC-17) yang bertindak sebagai katalis untuk memacu pembentukan kulit telur sehingga embryo ayam dapat berkembang aman di dalamnya.
Lebih jauh tim peneliti merinci bahwa protein OC-17 inilah yang bertanggung jawab merubah kalsium karbonat (CaCO3) yang diperoleh ayam menjadi kristal kalsit yang nantinya menyusun kulit telur. Disinyalir kemampuan protein ini pada ayam jauh lebih tinggi daripada kemampuan yang sama oleh spesies hewan lain, yakni 6 g kulit telur dalam 24 jam! Apakah pembuktian ini menegaskan bahwa penciptaan makhluk hidup di muka bumi memang dalam bentuk makhluk utuh (bukan telur) dan berpasangan, wallahu ‘alam bissawab.
Sumber: http://www.unja.ac.id/fapet/index.php/component/content/article/22-tekateki

Thursday, April 7, 2011

Bioteknologi Meat Designer

Oleh:

Prof. Ir Urip Santoso, M.Sc., Ph.D.
Disampaikan pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Universitas Bengkulu
Rabu, I I Mei 2005
Para hadirin yang terhormat, assalarnu’alaikum wr. wb. Pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan Pidato pengukuhan ‑ dengan judul”Bioteknologi Meat Designer”. Apa yang dimaksud dengan meat designer? Meat designer adalah daging yang mempunyai beberapa kriteria sebagai berikut: daging yang enak dan tidak amis, tinggi proteinnya dengan komposisi asarn amino yang seimbang, bebas residu obat dan mikrobia pathogen, seimbang imbangan asam lemak jenuh dan tidak jenuh, rendah kolesterol dan trigliserida (lemak). Daging dengan criteria tersebut merupakan daging idaman bagi konsumen terutama di Negara maju dan diperkotaan. Selain itu, industri peternakan dituntut untuk dapat menekan seminimal mungkin tingkat polusi baik polusi udara, tanah dan air. Mengapa mereka menginginkan meat designer?
Para hadirin terhon‑nat, mengkonsumsi lemak seperti trigliserida dan kolesterol dalarn. jumlah yang berlebihan dapat mengakibatkan berbagai penyakit seperti obesitas, atherosclerosis, jantung koroner, stroke, kanker dan bahkan kelainan paru‑paru. Dengan mengkonsurnsi daging dengan imbangan asam lemak jenuh dan asam. lemak tak jenuh yang baik dapat mencegah penyakit‑penyakit tersebut di atas serta dapat meningkatkan kecerdasan pada anak‑anak. Selain itu, kadar protein yang tinggi dengan komposisi asam amino yang seimbang dalarn daging sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan sel‑sel otak pada anak‑anak dan mencegah kerusakan sel‑sel otak serta mengganti sel‑sel tubuh yang telah mati. Sementara daging yang bebas residu obat dan mikrobia pathogen menjamin keamanan konsumen dari akibat negatif yang ditimbulkannya. Dan terakhir, daging yang enak dan tak amis dapat meningkatkan selera konsumen untuk mengkonsumsinya.
Para hadirin yang terhormat, lalu bagaimana cara memproduksi meat designer? Inilah serangkaian penelitian yang telah kami lakukan. Yang pertama adalah dengan memanfaatkan mikrobia efektif. Mikrobia efektif merupakan sekelompok mikrobia baik dari jenis bakteri, kapang, jamur d1l. yang berperan dalam. mengoptimalkan fungsi organ hewan dan manusia, sehingga akan diperoleh pertumbuhan dan. perkembangan tubuh yang optimal dan seimbang. Ada banyak mikrobia efektif serta berbeda­beda peranannya.
Para hadirin yang terhormat, beberapa mikrobia efektif yang sangat terkenal dan telah banyak digunakan baik sebagai feed additive pada. pakan ternak maupun produk fermentasi makanan manusia antara lain adalah Lactobacillus bulgaricus, Saccaromyces cereviceae, Rhyzopus oligosporus, Aspergllus niger, Bacillus subtilis, ragi roti d1l.
             Para hadirin. terhormat, mikrobia efektif ini jika dikonsumsi akan menekan pertumbuhan mikrobia pathogen dalam, saluran. pencernaan, sehingga keseimbangan mikroflora dalam. saluran pencernaan akan meMbaik. Dengan membaiknya. keseimbangan tersebut, maka proses pencern.aan dan penyerapan zat gizi akan optimal, sehingga produktivitas meningkat dan mutu daging akan lebih baik. Oleh karena mikrobia efektif merupakan mikrobia alami yang sudah terdapat dalam saluran pencernaan serta sangat berperan dalarn proses metabolisme, zat gizi, maka penggunaan mikrobia ini sebagai pengganti antibiotika akan dapat menghasilkan daging, telur dan susu yang bebas residu antiblotika dan obat‑obatan sintetik lainnya.

Menciptakan Broiler yang Seragam

Oleh: Urip Santoso

 Ketidakseragaman berat badan akan meningkatkan biaya produksi sehingga menurunkankan pendapatan peternak. Ada cara praktis untuk mendapatkan broiler yang seragam.

            Tujuan memelihara broiler adalah mendapatkan produktivitas yang tinggi serta menghasilkan berat badan yang dikehendaki pasar. Untuk mencapainya, seorang peternak harus berupaya agar broiler yang dipelihara sebagian besar mempunyai berat badan yang ideal pada umur pasar. Dengan demikian perlu diciptakan broiler yang mempunyai berat badan yang seragam.
            Sebagai contoh, kerugian yang akan dialami oleh peternak jika berat badan broiler sangat bervariasi antara lain adalah produksi broiler setiap kandangnya menjadi berkurang, sementara biaya produksinya tetap. Hal ini tentu saja akan memperkecil keuntungan yang diperolehnya. Bervariasinya berat badan ini akan menghasilkan bervariasinya berat karkas atau daging yang diproduksi. Selain itu, konsumen cukup selektif dalam memilih karkas broiler. Mereka menyukai  broiler/karkas broiler dengan berat tertentu. Oleh karena itu, bervariasinya berat badan akan berakibat tertundanya pemasaran yang berarti meningkatnya biaya produksi, atau lebih celakanya terpaksa dijual dengan murah.
            Dibawah ini diberikan petunjuk praktis cara-cara membuat broiler seragam.
Memelihara betina atau jantan saja
            Secara umum berat badan broiler jantan dan betina berbeda. Oleh karena itu, memelihara broiler secara terpisah sangat dianjurkan untuk menciptakan keseragaman. Namun, hal ini tampaknya sulit dilaksanakan mengingat industri bibit saat ini menjualnya secara mixed.
Membeli DOC yang seragam
            Jika memungkinkan, peternak hendaknya membeli DOC yang berat badannya seragam. Hal ini tentu saja memerlukan kerja sama dengan industri bibit, dimana industri bibit selalu menyediakan bibit yang relatif seragam.

Wednesday, April 6, 2011

The Effect of Fermented Product from Bacillus subtlis on Lipd Fraction Contents of Broiler Carcass


U. Santoso
Department of Animal Science, Faculty of Agriculture, Bengkulu University, Bengkulu Indonesia

Abtract: This study was conducted to evaluate the effect of fermented product from Bacillus subtilis (FPBS) on lipid fraction contents of broiler carcass. Forty female broilers were distributed to four treatment groups with 2 pens containing 5 broilers each. One group was not supplemented with FPBS as the control and the other three groups were supplemented with 0.5, 1 or 2% of FPBS, respectively. Diets contained 23.8% crude protein and 3.200 kcal/kg ME. Feed and water were given ad libitum. The results of this experiment showed that FPBS significantly reduced the contents of triglyceride, free cholesterol and phospholipids of carcass (P<0.01). In conclusion, FPBS had antitriglyceridemic and anticholesterolemic properties (J.Trop.Anim.Dev., 27 (3): 103-106).
Key words: fermented product, Bacillus subtilis, lipid fraction, carcass

Tuesday, April 5, 2011

The usefullness of Sauropus androgynus leaf extract as feed supplement to produce meat desgner


Urip Santoso, Yosi Fenita and Wiranda G. Piliang
Department of Animal Science, Faculty of Agriculture, Bengkulu University, Indonesia

Summary
            The present study was conducted  to evaluate effect of Sauropus androgunus leaf extract on performance, meat quality and fat accumulation in broilers. The experiment used broiler chickens strain Arbor Acres (Platinum). Experimental diets contained 20% protein and 3.200 kcal/kg and started at 21 days of age. !105 broiler chickens were distributed to seven treatment gropus as follows: 1) control, broilers were fed diet without Sauropus androgynus leaf extract (SAE); 2) broilers were fed diet plus 4.5 g SAE extracted by hot water/kg diet; 3) broilers were fed diet plus 9 g SAE extracted by hot water/kg diet; 4) broilers were fed diet plus 0.9 g SAE extracted by ethanol 95%/kg diet; 5) broilers were fed diet plus 1.8 g SAE extracted by ethanol 95%/kg diet; 6) broilers were fed diet plus 0.9 g SAE extracted by ethanol 70%/kg diet; 7) broilers were fed diet plus 1.8 g SAE extracted by ethanol 70%/kg diet. Experimental results showed that SAE supplementation significantly (P<0.05) increased body weight and body weight gain at 28, 35 and 42 days of age. The results also showed that SAE supplementation increased feed intake at 42 days of age without improvement in feed conversion ratio. The results showed that supplementation of SAE significantly increased carcass weight (P<0.05), meat color (P<0.05) and carcass color (P<0.01) and meat taste (P<0.05) but significantly reduced meat smell (P<0.01). This supplementation significantly rduced fat content of  abdomen (P<0.05). SAE significantly reduced the concentration of total lipid, total cholesterol, LDL-cholesterol, VLDL-cholesterol, LDL-cholesterol, glucose, atherogenic index but significantly increased HDL-cholesterol in serum of broilers. SAE  had no effect on the content of total lipid and cholesterol in thigh meat. SAE significantly increased amino acid content (P<0.05), changed the composition of amino acid, and increased the content of linoleic acid, linolenic acid and stearic acid in meat. In conclusion, supplementation of SAE increased feed intake, body weight, body weight gain but had no effect on feed conversion ratio. SAE reduced fat deposition in abdomen and leg. SAE may potential as drug of atherosclerosis, diabetes mellitus, hypercholesterolemia and hypertriglyceridemia.

Effect of Sauropus androgynus extract on egg quality and internal organ weight in layers

U. Santoso
Department of Animal Science, Faculty of Agriculture, Bengkulu University
Jl. Raya Kandang Limun, Bengkulu, Indonesia

ABSTRACT
The present research was conducted to evaluate the effect of Sauropus androgynus extract on egg quality and internal organ weight. Forty-eight layer aged 40 weeks (strain RIR) were distributed to 6 treatment groups as follows. One group was fed diet without Sauropus androgynus extract (SAE) (P0), and five groups were fed diet plus SAE-hot water at level of 9 g/kg (P1), diet plus SAE-ethanol at level of 0.9 g/kg (P2), diet plus SAE-ethanol at level of 1.8 g/kg (P3), diet plus SAE-methanol at level of 0.9 g/kg (P4), and diet plus SAE-methanol at level of 1.8 g/kg (P5). Experimental results showed that SAE supplementation had no effect on eggshell tickness, yolk index, yolk colour index, albumen weight, smell and taste of eggs, number of Salmonella sp., toxicity percentage, internal organ weights (P<0.05), but they had effect on (P<0,05) number of Staphylococcus sp., egg weight, HU, yolk weight, eggshell weight and length of intestine. In conclusion, SAE supplementation was not effective to improve egg quality and had no toxicity. SAE-ethanol supplementation at level of 0.9 or 1.8 g/kg, and SAE-methanol at level of 0.9 g/kg was effective to reduce the number of Staphylococcus sp. To improve egg quality by SAE, the future research should be designed to use the level of SAE higher than the level applied in this experiment (Jurnal Sain Peternakan Indonesia, 2 (1):…).
Key words: Sauropus androgynus extract, egg quality, internal organ

Effect of Protein and Saccharomyces cereviciae culture Levels on Carcass Quality and Fat Deposition in Broiler Chickens



Farahdiba, Urip Santoso* dan Kususiyah
Department of Animal Science, Faculty of Agriculture, Bengkulu University
Jalan Raya W. R. Supratman, Bengkulu 38371 A
e-mail: santosoburgo60@yahoo.com

ABSTRACT
The present study was conducted to evaluate effect of level of protein and Saccharomyces cereviciae culture on carcass quality and fat deposition. One hundred and thirty three broilers were distributed to 9 treatment groups of 3 replicates each. Factorial Completely Randomized Experimental Design was used. Two factors used n the present study were  three level of protein (15%, 18% and 21%) and three level of Saccharomyces cereviciae culture (0%, 0,5% and 1%). Expermental results showed that protein level of diet significantly affected  Fatty Liver Score (P<0,05), leg, breast and abdominal fat weights (P<0,01), but it had no effect (P>0,05) on carcass, wing and back weight. Level of  Saccharomyces cereviciae culture had no effect (P>0,05) on carcass, leg, wing weghts and Fatty Lver Score, but it significantly affected on breast, back and neck fat weight (P<0,05)  abdominal fat weight (P<0,01). No interaction was found. In conclusion, higher protein level improved carcass quality and reduced fat deposition. In addition, supplementation of 0.5% Saccharomyces cereviciae culture was effective to improve carcass quality and to reduce fat deposition. Supplementation of Saccharomyces cereviciae culture to low protein diet did not improve carcass quality and fat deposition.
Key wordsSaccharomyces cereviciae, protein, carcass quality, fat deposition

ABSTRAK
Peneltian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh aras protein dan ragi tape terhadap mutu karkas dan deposisi lemak pada broiler. Sebanyak 135 ekor broiler dikelompokkan menjadi 9 kelompok perlakuan  dengan 3 ulangan berupa kandang litter. Masing-masing ulangan berisi 5 ekor broiler. Racangan Acak Lengkap dengan 2 faktor digunakan dalam penelitian ini, yaitu  tiga aras protein (15%, 18% dan 21%) dan tiga aras ragi (0%, 0,5% dan 1%). Hasil penelitan menunjukkan bahwa  aras protein berpengaruh nyata terhadap  Fatty Liver Score (P<0,05), paha, dada dan lemak abdomen (P<0,01), tetapi berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap  karkas, sayap dan punggung. Hasil peneltian menunjukkan bahwa aras ragi tape berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap karkas, paha, sayap dan Fatty Lver Score, tetapi berpengaruh nyata terhadap  dada, punggung dan lemak leher (P<0,05)  dan sangat nyata terhadap  lemak abdominal (P<0,01). tdak terdapat interaksi antara aras protein dan aras ragi tape terhadap mutu karkas dan deposisi lemak. Dapat disimpulkan bahwa level protein yang lebih tinggi memperbaiki mutu karkas dan menurunkan deposisi lemak. Suplementasi ragi tape sebesar 0,5% efektif  dalam memperbaiki mutu karkas dan menurunkan deposisi lemak. Suplementasi ragi tape ke dalam pakan berprotein rendah tidak memperbaiki mutu karkas dan tidak menurunkan deposisi lemak pada broiler.
Kata kunci: Ragi tape, protein, mutu karkas, deposisi lemak

Monday, April 4, 2011

The effect of conjugated linoleic acid on growth and lipid metabolism in animals

by: Urip Santoso 

Department of Animal Science, Faculty of Agriculture, Bengkulu University, Bengkulu, Indonesia


INTRODUCTION
            Recently, there is a great demand to produce healthier animal products. Consumers tended to consume animal products with the characteristics of low fat, low contaminated pathogenic microorganisms, low drug residues. Pertaining to these demands, many investigations have been conducted with some success and other unsuccess.
            It was recently proven that conjugated linoleic acid (CLA), an uncomplete biohydrogenation of linoleic acid in rumen had beneficial effect on human health. Conjugated linoleic acid is collective terms describing a mixture of positional and geometric conjugated diene isomers of linoleic acid (Dunshea et al., 2002). CLA  is a general term for positional and geometrical isomers of linoleic acid, cis-9, cis-12 octadecadienoic acid, in which the deoble bonds are conjugated instead of being in the typical methylene interrupted configuration (Ham et al., 2002). Of the individual isomers of CLA, cis-9, trans-11-octadecadienoic acid (c9,t11-18:2) has been suggested to be the most important in terms of biological activity because it is the major isomer. CLA can be produced by alkaline isomerization which are not fully characterized (Nicholas et al., 1951; Sehat et al., 1998).
Limited number of bacterial spp were reported to be able to produce CLA from linoleic acid (C18:2) in vitro (Jiang et al., 1998). CLA has been shown to be produced from polyunsaturated fat by certain rumen microorganisms such as Butyrivibrio species (Forgety et al., 1988). More recently, it was reported that Propionibacterium freudenreichii commonly used as dairy starter culture, was able to produce CLA from free linoleic acid (Jiang et al., 1998). Pariza and Yang (2000) screened 45 cultures from whole intestinal tract of two conventional rats by measuring the conversion of linoleic acid to CLA with HPLC and GC, and developed the method of producing CLA with selected strain in Tris-HCl buffer. However, Ogawa et al. (2001) insisted after 4 days of reaction with washed cells of L. acidophilus transformed more than 95% of the added linoleic acid into CLA and cells themselves could be used as source of CLA. Ham et al. (2002) found CLA producing lactic acid bacteria idenfied to be Lactobacillus fermentum in feces of healthy babies. CLA producing lactic acid bacteria can be useful as a  starter culture for making milk products, a source of enzyme systems in the production of CLA, or a probiotic culture. In vitro studies with mixed culture or pure strains of ruminal bacteria have shown that most bacteria are capable of hydrogenating linoleic acid (C18:2) to trans-C18:1 and related isomers, but only a few have the ability to hydrogenate C18:2 completely to stearic acid (Miles et al., 1970; Harfoot et al., 1973). Oleic acid (C18:1) was also extensively hydrogenated to stearic acid (C18:0) by ruminal bacteria in vitro (Song and Choi, 1998, Wong et al., 1999).
            Ha et al. (1987) found that a lipid fraction isolated from cooked ground beef had anticarcinogenics.Other investigations (Banni and Martin, 1998; Belury, 1995; Ip et al., 1999) also found that lipid known as CLA had anticarcinogenic activity in a wide range of animal models.

Sunday, April 3, 2011

Dasasila Peternakan dalam Pembangunan Peternakan di Indonesia



i
Oleh: Prof. Ir. Urip Santoso, S.IKom., M.Sc., PhdQuantcast
Jurusaan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
Jalan Raya WR Supratman, Bengkulu


Peternakan diakui sebagai salah satu komoditas pangan yang memberikan kontribusi yang cukup besar bagi devisa negara dan harus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Pada kenyataannya, target kebutuhan protein hewani asal ternak sebesar 6 g/kapita/hari masih jauh dari terpenuhi. Ada sedikitnya sepuluh permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam mengembangkan peternakan yaitu pemerataan dan standar gizi nasional belum tercapai, peluang ekspor yang belum dimanfaatkan secara maksimal, sumber daya pakan yang minimal, belum adanya bibit unggul produk nasional, kualitas produk yang belum standar, efisiensi dan produktivitas yang rendah, sumber daya manusia yang belum dimanfaatkan secara optimal, belum adanya keterpaduan antara pelaku peternakan, komitmen yang rendah dan tingginya kontribusi peternakan pada pencemaran lingkungan.
Bahkan, akhir-akhir ini produk ternak  dari luar negeri semakin membanjiri pasar Indonesia dengan harga yang lebih murah dan mutu yang lebih baik. Hal ini sangat sulit untuk dihindari, karena adanya kecenderungan adanya perdagangan bebas dan Indonesia mau tidak mau harus menghadapinya. Hal ini tentu saja mengancam perkembangan peternakan di Indonesia.
Untuk mengantisipasi terpaan dari luar, peternakan di Indonesia harus mengubah strategi agar mampu bertahan dan bahkan mampu bersaing dengan produk luar baik dalam memperebutkan pasar nasional maupun pasar internasional.
A. Dasasila Peternakan
Dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas, penulis mengemukakan selupuh dasar peternakan yang harus dikembangkan dan diterapkan di Indonesia. Sepuluh dasar tersebut yang penulis namakan Dasasila Peternakan telah diseminarkan di forum seminar nasional yang diselenggarakan pada tanggal 17 Mei 2004 di Bengkulu. Konsep  ini  meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Interaksi Pelaku Peternakan yang Harmonis.
2. Interaksi Pelaku Peternakan dengan Lingkungan yang Harmonis.
3. Pengembangan Pakan Berbasis Bahan Baku Lokal yang Kompetitif.
4. Penciptaan Bibit Unggul.
5. Perencanaan Usaha Terintegratif.
6. Penciptaan Tatalaksana Berbasis Peternakan Berkelanjutan.
7. Kesehatan yang Optimal bagi Ternak, Peternak dan Masyarakat.
8. Pengelolaan Keuangan, dan Kemudahan Berusaha serta Kemudahan Mendapatkan Modal Usaha.
9. Pemasaran Terpadu.
10. Kesejahteraan bagi Ternak, Peternak dan Masyarakat Luas.

Saturday, April 2, 2011

Beternak Ayam Kampung Petelur

Quantcast  Oleh Suharyanto
Pengantar
Ayam kampung boleh dikatakan sebagai ayam asli Indonesia yang sudah dipelihara sejak jaman dahulu. Ayam ini memiliki potensi yang sudah terbukti, mampu member kontribusi bagi pemenuhan kebutuhan keluarga, setidaknya sebagai penghasil daging dan telur. Kebanyakan ayam kampung bersifat dwifungsi, yaitu sebagai penghasil daging dan penghasil telur, dan biasanya tergantung bagaimana tujuan peternak memelihara ayam kampung. Ayam kampung merupakan hasil domestikasi ayam hutan merah selama berabad-abad. Ayam kampung yang ada di Indonesia morfologinya (bentuk-bentuk fisik) sangat beragam, sulit sekali dibedakan dan dikelompokkan ke dalam klasifikasi tertentu. Karena tidak memiliki cirri yang khusus dan tidak adanya ketentuan tujuan dan arah usaha peternakannya, ayam kampung dinamakan juga sebagai ayam buras (bukan ras), untuk membedakan dengan ayam yang sudah jelas tujuan dan arah usahanya, misalnya khusus petelur atau pedaging) yang disebut dengan ayam ras. Produktivitas ayam kampung yang dipelihara secara ala kadarnya memang masih rendah. Produksi telur per tahunnya sekitar 60 butir dan berat badan ayam jantan dewasa tidak melebihi dari 2 kg. Apa lagi ayam betina dan ayam-ayam yang sudah tua maka berat badannya jauh lebih rendah lagi. Namun demikian, bila ayam kampung dipelihara secara benar, tepat dan intensif maka produktivitasnya dapat ditingkatkan, khususnya bila diarahkan untuk petelur.
Menentukan Tujuan
Beternak ayam kampung perlu dipersiapkan beberapa hal, diantaranya adalah penetapan tujuan beternak, apakah sebagai penghasil daging atau penghasil telur. Penentuan tujuan ini penting karena akan menentukan cara memelihara dan manajemennya, termasuk dalam pemilihan induk untuk bibitnya. Selain menentukan tujuan komoditas yang akan diproduksi, penentuan maksud beternak juga penting. Setidaknya ada 3 maksud dan tujuan orang beternak ayam kampung, yaitu beternak hanya sekedar mengisi waktu luang dan beternak sebagai sumber penghasilahan keluarga. Bila beternak hanya untuk mengisi waktu luang, maka kepuasan yang dicapai adalah kepuasan mengisi waktu dengan kesibukan sehari-hari mengurus ternak. Kepuasan tersebut memberikan nilai tersendiri, terutama bagi yang sudah pension. Selain kepuasan tersebut, beternak juga menambah hasil berupa telur atau anak ayam atau daging walaupun ini bukanlah target utama dari beternak. Maksud dan tujuan yang kedua adalah beternak sebagai usaha penghasil pendapatan. Bila tujuan ini sudah ditetapkan maka usaha peternakan ayam kampung yang dijalankan akan menerapkan kaidah-kaidah usaha. Keuntungan berupa ekonomi merupakan target utama yang harus dihasilkan. Kepuasan peternak akan ditentukan dengan seberapa banyak nilai ekonomi yang dihasilkan dari peternakan yang dijalankan.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...