Friday, May 27, 2011

PENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK DAUN KATUK TERHADAP KUALITAS TELUR DAN BERAT ORGAN DALAM


Urip Santoso
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, Bengkulu
Jalan Raya Kandang Limun, Bengkulu.
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh ekstrak daun katuk terhadap kualitas telur. Empat puluh delapan ekor ayam petelur umur 40 minggu (strain RIR) didistribusikan menjadi 6 kelompok perlakuan sebagai berikut. Satu kelompok diberi ransum tanpa EDK (P0), dan lima kelompok lainnya diberi ransum  plus EDK-air panas pada level 9 g/kg (P1), ransum plus EDK-etanol pada level 0,9 g/kg (P2), ransum plus EDK-etanol pada level 1,8 g/kg (P3), ransum plus EDK-metanol pada level 0.9 g/kg (P4), dan ransum plus EDK-metanol pada level 1.8 g/kg (P5). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan ekstrak daun katuk berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap tebal kerabang, tinggi rongga udara, indeks kuning telur,  indeks warna kuning telur, berat putih telur, bau dan rasa telur, jumlah  Salmonella sp., pada kerabang telur, persentase toksisitas, berat organ dalam, tetapi berpengaruh secara nyata (P<0,05) terhadap Staphylococcus sp., berat telur, HU, berat kuning telur, berat kerabang telur dan panjang usus halus. Dapat disimpulkan bahwa penambahan ekstrak katuk kurang efektif meningkatkan kualitas telur dan tidak bersifat toksit. Penambahan EDK-etanol sebesar 0,9 atau 1,8 g/kg, dan EDK-metanol sebesar 0,9 g/kg cukup efektif untuk menurunkan jumlah Staphylococcus sp pada kerabang telur. Untuk meningkatkan mutu telur melalui ekstrak daun katuk, maka perlu dilakukan penelitian penggunaan ekstrak  tersebut di atas  tingkat penambahan pada penelitian ini. (Jurnal Sain Peternakan Indonesia, 2 (1): 5-10, 2007).

Kata kunci: Ekstrak katuk, kualitas telur, organ dalam


ABSTRACT
The present research was conducted to evaluate the effect of Sauropus androgynus extract on egg quality and internal organ weight. Forty-eight layer aged 40 weeks (strain RIR) were distributed to 6 treatment groups as follows. One group was fed diet without Sauropus androgynus extract (SAE) (P0), and five groups were fed diet plus SAE-hot water at level of 9 g/kg (P1), diet plus SAE-ethanol at level of 0.9 g/kg (P2), diet plus SAE-ethanol at level of 1.8 g/kg (P3), diet plus SAE-methanol at level of 0.9 g/kg (P4), and diet plus SAE-methanol at level of 1.8 g/kg (P5). Experimental results showed that SAE supplementation had no effect on eggshell tickness, yolk index, yolk colour index, albumen weight, smell and taste of eggs, number of  Salmonella sp., toxicity percentage, internal organ weights (P<0.05), but they had effect on (P<0,05) number of Staphylococcus sp., egg weight, HU, yolk weight, eggshell weight and length of intestine. In conclusion, SAE supplementation was not effective to improve egg quality and had no toxicity. SAE-ethanol supplementation at level of 0.9 or 1.8 g/kg, and SAE-methanol at level of 0.9 g/kg was effective to reduce the number of Staphylococcus sp. To improve egg quality by SAE, the future research should be designed to use the level of SAE higher than the level applied in this experiment.
Key words: Sauropus androgynus extract, egg quality, internal organ
PENDAHULUAN
            Sejumlah perubahan dalam produksi dan pengolahan pada industri telur telah terjadi, sehingga mempengaruhi mutu telur yang didistribusikan kepada konsumen. Dengan ditemukannya bukti bahwa Salmonella sp. merupakan mikrobia patogen pada telur (Gast and Beard, 1990; Gast, 1994; Humphrey, 1994), maka terjadi perubahan yang drastis pada definisi mutu telur oleh konsumen (Thorton, 1991), dan menjadi isu kesehatan dan ekonomi dunia (Hansenson et al., 1992). Analisis epidemiologik menunjukkan bahwa telur atau produk telur yang terkontaminasi merupakan sumber utama infeksi (Hansenson et al., 1992). Selain itu, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli juga merupakan mikrobia patogen yang penting pada manusia. Gast dan Holt (2001) menemukan jika 102 cfu Salmonella entiritidis (SE) diinokulasikan ke permukaan luar kuning telur utuh, maka terjadi perbanyakkan pada isi kuning telur bagian dalam pada 10% sampel setelah 6 jam inkubasi dan meningkat menjadi 75% setelah 24 jam inkubasi pada suhu 25 oC. Sebelum adanya pembuktian SE, konsumen mendefinisikan mutu telur secara fisik dan visual seperti ukuran rongga udara, warna kuning telur, HU, tinggi albumen, berat telur dll., maka sekarang mereka telah memasukkan aspek mikrobiologi yaitu dengan mempertimbangkan kontaminasi oleh mikrobia patogen pada telur.
            Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas telur. Salah satunya adanya pemberian pakan tambahan pada ayam petelur untuk memperbaiki mutu telur. Sauropus androgynus (katuk) merupakan tumbuhan obat yang kaya akan b-karoten (Yulianis dan Marwati, 1997), mempunyai sifat antibakteri (Darise dan Sulaeman, 1997; Santoso, 2001; Santoso et al., 2001), kaya akan mineral (Santoso dan Sartini, 2001; Santoso et al., 2002) dan vitamin terutama vitamin C. Hasil penelitian pada broiler menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk mampu meningkatkan warna kuning pada kulit broiler (Santoso et al., 2001). Hal ini disebabkan daun katuk kaya akan b-karoten. Oleh sebab itu, diduga pemberian daun katuk atau ekstraknya akan meningkatkan warna kuning pada kuning telur. Sifat antibakteri ekstrak daun katuk dapat diharapkan ekstrak daun katuk mampu menekan mikrobia patogen terutama Salmonella pada telur. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh ekstrak daun katuk terhadap mutu telur.

MATERI DAN METODE

Empat puluh delapan ekor ayam petelur umur 40 minggu (strain RIR) didistribusikan menjadi 6 kelompok perlakuan sebagai berikut. Satu kelompok diberi ransum tanpa EDK (P0), dan lima kelompok lainnya diberi ransum  plus EDK-air panas pada level 9 g/kg (P1), ransum plus EDK-etanol pada level 0,9 g/kg (P2), ransum plus EDK-etanol pada level 1,8 g/kg (P3), ransum plus EDK-metanol pada level 0.9 g/kg (P4), dan ransum plus EDK-metanol pada level 1.8 g/kg (P5). Komposisi ransum basal dipublikasikan pada jurnal lain. Setiap ayam petelur diberi ransum sebanyak 100 g per hari, dan ayam dipelihara dalam kandang individu. Air minum diberikan secara bebas. Lama penelitian adalah 10 minggu.
            Setiap minggu pada tiga minggu terakhir sebelum penelitian berakhir, 4 butir telur untuk masing-masing kelompok diambil telurnya untuk analisis mutu telur secara fisik yang meliputi HU, warna kuning telur, indeks kuning telur, indeks putih telur, ukuran rongga udara. Selain itu, 4 butir telur lainnya dikoleksi untuk uji organoleptik yang meliputi uji rasa dan bau. Berat dan indeks telur diukur setiap hari pada tiga minggu terakhir. Pada akhir penelitian, 4 ekor ayam petelur pada masing-masing kelompok diambil telurnya untuk dianalisis jumlah Salmonella sp. dan Staphylococcus sp pada kerabang telur menurut metode Collins (1989).
            Uji rasa dan bau telur dilakukan pada suhu kamar. Telur direbus selama 15 menit pada suhu 80 oC, dan tetap dipertahankan hangat (suhu 35 oC) sampai uji organoleptik. Uji bau dilakukan pada telur utuh dan telur yang telah dikupas dan dibelah. Untuk itu 10 panelis  diminta untuk menguji bau telur dari tidak amis (1) sampai sangat amis (5). Panelis juga diminta untuk melakukan uji rasa pada telur dari tidak enak (1) sampai dengan sangat enak (5).
            Persentase toksisitas dihitung dengan cara berat hati plus berat limfa dibagi dengan berat hidup (Santoso et al., 2002). Sementara persentase berat organ dalam dihitung dengan cara menimbang berat organ dalam dibagi dengan berat hidup.
            Semua data dianalisis varians dan jika berbeda nyata diuji lanjut dengan DMRT.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1 menunjukkan pengaruh ekstrak daun katuk terhadap kualitas telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk tidak berpengaruh secara nyata terhadap tebal kerabang, tinggi rongga udara, indeks kuning telur,  indeks warna kuning telur, dan berat putih telur, tetapi berpengaruh secara nyata (P<0,05) terhadap berat telur, HU, berat kuning telur dan berat kerabang telur.
Berat telur sangat penting secara ekonomis sebab sangat menentukan “market grade”. Di Argentina dan USA peningkatan sebesar satu gram dalam berat dapat memperbaiki “grade”, dan sehingga meningkatkan pendapatan sebesar 4-5% (Shalev and Pasternak, 1993). Pada penelitian ini berat telur bervariasi akibat perlakuan ekstrak. Berat telur yang cenderung lebih berat dengan kadar kuning telur yang lebih rendah pada P5 jika dibandingkan dengan P0 adalah sangat menarik. Telur dengan kuning telur yang lebih kecil akan mengandung kolesterol total lebih rendah daripada kuning telur yang lebih besar, yang merupakan faktor penting jika mempromosikan konsumsi telur (Shafety dan Cham, 1994).
            Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian EDK-metanol sebesar 1,8 g/kg menghasilkan tebal kerabang yang cenderung lebih rendah. Hal ini mengakibatkan  rendahnya berat kerabang telurnya. Daun katuk mengandung senyawa yang menghambat penyerapan mineral pakan. Oleh sebab itu, diduga bahwa senyawa tersebut banyak terlarut dalam metanol. Sebaliknya, pemberian EDK-metanol sebesar 1,8 g/kg menghasilkan tebal kerabang yang cenderung lebih tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi mutu kerabang. Ayam petelur memproduksi kerabang telur tebal  sebab mereka mempunyai retensi kalsium lebih tinggi (Hurwitz dan Bar, 1967). Clunies et al. (1992) melaporkan bahwa ayam menghasilkan kerabang yang tebal dan keras disebabkan oleh efisiensi retensi kalsium yang lebih tinggi.
            Kecenderungan peningkatan warna kuning telur oleh ekstrak daun katuk disebabkan oleh b-karotin yang banyak terdapat dalam daun katuk. Subekti (2003) menemukan bahwa pemberian tepung daun katuk mampu meningkatkan kadar b-karotin dalam telur. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Subekti (2003) bahwa untuk meningkatkan warna kuning pada kuning telur perlu ditambahkan ekstrak katuk yang lebih tinggi daripada yang diterapkan pada penelitian sekarang ini.
Tabel 2 menunjukkan pengaruh ekstrak daun katuk terhadap uji organoleptik dan jumlah Salmonella sp. dan Staphylococcus sp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap bau telur utuh, bau telur secara dibelah, rasa telur, dan jumlah Salmonella sp. tetapi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah Staphylococcus sp. Meskipun tidak berbeda nyata terdapat kecenderungan jumlah Salmonella sp pada  P1 dan P3 jika dibandingkan dengan P0.
Terdapat kecenderungan penurunan jumlah Salmonella sp. pada ayam petelur yang diberi EDK-air panas sebanyak 9 g/kg, dan pada petelur yang diberi EDK-etanol sebesar 1,8 g/kg. Ini menunjukkan bahwa EDK tersebut dapat mengurangi kemungkinan masuknya Salmonella sp. ke dalam albumen dan kuning telur.  Ayam petelur yang terinfeksi dapat menimbun Salmonella dalam kuning telur atau albumen  (Humphrey et al., 1989, 1991; Gast and Beard, 1990; Bichler et al., 1996; Gast and Holt, 2000b).  Meskipun sangat sedikit multiplikasi bakteri terjadi dalam putih telur, Salmonella dapat bertahan pada albumen pada suhu yang mendukung (Look dan Board, 1992; Baron et al., 1997; Gast and Holt, 2000b). Akan tetapi kuning telur dapat cepat mendukung dan pertumbuhan Salmonella yang pesat, terutama pada suhu penyimpanan di atas 20 C (Bradshaw et al., 1990; Clay and Board, 1991; Humphrey and Whitehead, 1993; Braun dan Fehlhaber, 1995; Gast and Holt, 2000a).
Meskipun pada penelitian ini tidak diukur jumlah Lactobacillus sp., namun diduga jumlah mereka pada kerabang telur meningkat. Dugaan ini  berlandaskan kepada hasil penelitian Santoso (2005) dan Santoso et al. (2001) yang menemukan bahwa jumlah Lactobacillus sp. dalam saluran pencernaan meningkat dengan pemberian ekstrak daun katuk. Miyamoto et al. (2000) menemukan bahwa Lactobacilli dalam kloaka ayam petelur mempunyai pengaruh proteksi terhadap kolonisasi Salmonella sp. Naiknya jumlah Lactobacillus sp berarti menyebabkan turunnya kolonisasi dan proliferasi Salmonella sp. dalam kloaka (Miyamoto et al., 1997, 1998) yang mengakibatkan turunnya jumlah Salmonella sp  pada kerabang telur.
Meskipun jumlah Staphylococcus sp. pada kerabang telur  pada semua kelompok perlakuan masih belum bersifat racun  (Buckle et al., 1986), namun penurunan mikrobia ini oleh ekstrak katuk sangat berarti untuk menjamin keamanan telur.
Tabel 3 menunjukkan pengaruh ekstrak daun katuk terhadap persentase toksisitas, dan berat organ dalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk tidak berpengaruh terhadap persentase toksisitas, berat jantung, gizzard,  usus halus, sekum, hati, limfa dan panjang sekum, tetapi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap panjang usus.
Tidak berbeda nyatanya angka toksisitas menunjukkan bahwa pemberian EDK tidak bersifat racun pada ayam petelur. Hal ini terbukti oleh normalnya berat organ dalam seperti jantung, hati dan limfa. Hasil pengamatan makrokospik yaitu dengan mengamati warna, bentuk dan tekstur jantung, hati dan limfa juga mencerminkan bahwa organ-organ tersebut dalam kondisi yang normal. Hasil penelitian ini sesuai hasil penelitian Santoso (2001) yang tidak menemukan adanya toksisitas pada broiler yang diberi ekstrak daun katuk.

SIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa penambahan ekstrak katuk kurang efektif meningkatkan kualitas telur dan tidak bersifat toksit. Penambahan EDK-etanol sebesar 0,9 atau 1,8 g/kg, dan EDK-metanol sebesar 0,9 g/kg cukup efektif untuk menurunkan jumlah Staphylococcus sp pada kerabang telur.
Untuk meningkatkan mutu telur melalui ekstrak daun katuk, maka perlu dilakukan penelitian penggunaan ekstrak  tersebut di atas  tingkat penambahan pada penelitian ini.

UCAPAN TERIMA KASIH
Data yang dipublikasikan ini merupakan bagian dari hasil penelitian hibah bersaing yang didanai oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional dengan Nomor Kontrak 009/LIT/BPPK-SDM/IV/2002.
                                
DAFTAR PUSTAKA
Buckle, K. A., R. A. Edwards, C. H. Fleet dan M. Wooton. 1986. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh Purnomo, H dan Adiono. Edisi ke-2. UI-Press, Jakarta.
Clunies, M., D. Parks and S. Leeson. 1992. Calcium and phosphorus metabolism and eggshell thickness in laying hens producing  thick or thin shells. Poultry Sci. 71:490-498.
Darise, M. and Sulaeman. 1997. Ekstraksi komponen kimia daun katuk asal Sulawesi Selatan berbagai metode serta penelitian daya hambat terhadap bakteri uji. Warta Tumbuhan Obat, 3 (3): 37-38.
Gast, R. K. 1994. Understanding Salmonella enteridis in laying chickens: The contributions of experimental infection. Int. J. Food. Microbiol. 1:107-116.
Gast, R. K. And P. S. Holt. 2000a. Influence of the level and location of contamination on the multiplication of Salmonella enteritidis at different storage temperatures in experimentally inoculated eggs. Poultry Sci. 79: 559-563.
Gast, R. K., and P. S. Holt. 2000b. Deposition of phage type 4 and 13a Salmonella enteritidis strains in the kuning telur and albumen of eggs laid by experimentally infected hens. Avian Dis. 44: 706-710.
Hansenson, L. B., L. Kaftyreva, V. G. Laszlo, E. Woitenkova and M. Nesterova. 1992. Epidemiological and microbiological data on S. enteritidis. Acta Microbiol. Hung. 39:31-39.
Humphrey, T. J., A. Whitehead, A. H. L. Gawler, A. Henleg and B. Rowe. 1991. Numbers of Salmonella enteritidis in the contents of natuarally contaminated hen’s eggs. Epidemiol. Infect. 106: 489-496.
Hurwitz, S., and A. Bar. 1967. Calcium metabolism of hens secreting heavy or light egg shell. Poultry Sci. 46: 1522-1527.
Jones, D. R., K. E. Anderson, P. A. Curtis and F. T. Jones. 2002. Microbial contamination in inoculated shell eggs: 1. Effects of layer strain and hen age. Poultry Sci. 81:715-720.
Miyamoto, T., E. Baba, T. Tanaka, K. Ssai, T. Fukata and A. Arakawa. 1997. Salmonella enteritidis contamination of eggs from hens inoculated by vaginal cloacal, intravenous routes. Avian Dis. 41:296-303.
Miyamoto, T., T. Horie, T. Fukata, K. Sasai and E. Baba. 1998. Changes in microflora of the cloaca and oviduct of hens after intracloacal or intravaginal inoculation with Salmonella enteritidis. Avian Dis. 42:536-544.
Santoso, U. 2001. Effect of Sauropus androgynus Extract on Organ Weight, Toxicity and Number of Salmonella sp and  Escherichia coli of Broilers Meat. B I P P, 7 (2): 162-169.
Santoso, U. 2005. Pengaruh pemberian ekstrak daun katuk dalam ransum terhadap produksi, kadar nitrogen dan forsor, dan jumlah koloni mikrobia pada feses ayam petelur. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis, 30 (4):  237-241.
Santoso, U and Sartini. 2001. Reduction of fat accumulation in broiler chickens by Sauropus androgynus (Katuk) leaf meal supplementation. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 14: 346-350.
Santoso, U., Suharyanto and E. Handayani. 2001. Effects of Sauropus androgynus (Katuk) leaf extract on growth, fat accumulation and fecal microorganisms in broiler chickens. J I T V, 6: 220-226.
Santoso, U., T. Suteky, Heryanto and Sunarti. 2002. Pengaruh cara pemberian ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus) terhadap penampilan dan kualitas karkas ayam pedaging. J I T V, 7: 143-148.
Shafey, T. M. and B. E. Cham. 1994. Altering fatty acid and cholesterol contents of eggs for human consumption. In: Sim, J. S. and S. Nakai (Eds). Egg Uses and Processing Technologies: New Developments, pp 374-385 (Wallingford, England, CAB International).
Shalev, B.A and H. Pasternak. 1993. Increment of egg weight with hen age in various commercial avian species. Poultry Sci. 34:915-924.
Subekti, S. 2003. Kualitas telur dan karkas ayam lokal yang diberi tepung daun katuk dalam ransum. Program Pasca sarjana IPB. Bogor.
Yulianis, S dan T. Marwati. 1997. Tinjauan katuk sebagai bahan makanan tambahan yang bergizi. Warta Tumbuhan Obat 3 (3): 55-56.



Tabel 1. Pengaruh Penambahan Ekstrak Daun Katuk terhadap Mutu Telur pada Ayam Petelur Strain RIR
Variabe
  P0
P1
P2
P3
P4
P5
ANOVA
Tebal kerabang, mm
Tinggi rongga udara, mm
Indeks kuning telur
Berat telur
Indeks warna kuning telur
Haugh Unit
Berat putih telur, %
Berat kuning telur, %
Berat kerabang telur, %
0,50
5,50
0,40
65,9
8,75
79,0
63,6
25,9
10,5
0,49
4,17
0,42
64,4
9,0
74,7
64,3
25,4
10,4
0,52
4,03
0,42
65,0
8,75
64,0
63,4
25,6
11,2
0,53
3,44
0,40
64,3
8,88
77,1
58,6
29,4
12,0
0,48
3,39
0,42
67,8
9,5
83,3
63,1
26,9
10,1
0,47
4,28
0,42
69,6
9,38
73,1
67,3
22,9
9,7
NS
NS
NS
P<0,05
NS
P<0,05
NS
P<0,05
P<0,05
P0= tanpa pemberian EDK; P1= pemberian EDK-air panas 9 g/kg; P2= pemberian EDK-etanol 0,9 g/kg ransum; P3= pemberian EDK-etanol 1,8 g/kg; P4= pemberian EDK-metanol 0,9 g/kg; P5= pemberian EDK-metanol 1,8 g/kg ransum; BB = berat badan


Tabel 2. Pengaruh Ekstrak Daun Katuk terhadap Uji organoleptik dan Mikrobia Telur pada Ayam Petelur Strain RIR
Variabel
P0
P1
P2
P3
P4
P5
ANOVA
Bau utuh setelah direbus
Bau setelah dibelah
Rasa
Salmonella sp., CFU/telur
Staphylococcus sp., CFU/telur
3,14
3,30
3,24
200
140.500
2,42
3,42
3,20
175
155.750
2,55
3,24
3,36
225
81.500
2,86
3,46
3,34
133
60.000
2,58
3,70
3,37
200
61.500
2,40
3,58
3,45
250
184.000
NS
NS
NS
NS
P<0,05
P0= tanpa pemberian EDK; P1= pemberian EDK-air panas 9 g/kg; P2= pemberian EDK-etanol 0,9 g/kg ransum; P3= pemberian EDK-etanol 1,8 g/kg; P4= pemberian EDK-metanol 0,9 g/kg; P5= pemberian EDK-metanol 1,8 g/kg ransum; BB = berat badan



Tabel 3. Pengaruh Ekstrak Daun Katuk terhadap Toksisitas dan Berat Organ Dalam pada Ayam Petelur Strain RIR
Variabel
P0
P1
P2
P3
P4
P5
ANOVA
Toksisitas, %
Berat organ dalam, % BB
-         Jantung
-         Usus halus
-         Gizzard
-         Hati
-         Sekum
-         Limfa
Panjang organ dalam, mm
-         Sekum
-         Usus halus
2,07

5,8
26,4
31,0
28,9
6,9
3,4

17,7
157
2,07

5,4
29,1
27,4
28,3
8,0
3,1

18,8
184
2,01

5,6
31,6
27,8
28,4
10,1
3,1

19,9
176
2,20

5,7
26,4
28,9
29,5
6,1
2,7

19,7
168
1,96

5,8
27,8
29,7
25,9
9,9
3,4

19,0
168
1,96

6,7
29,9
30,8
27,1
7,4
3,7

17,9
157
NS

NS
NS
NS
NS
NS
NS

NS
P<0,05
P0= tanpa pemberian EDK; P1= pemberian EDK-air panas 9 g/kg; P2= pemberian EDK-etanol 0,9 g/kg ransum; P3= pemberian EDK-etanol 1,8 g/kg; P4= pemberian EDK-metanol 0,9 g/kg; P5= pemberian EDK-metanol 1,8 g/kg ransum; BB = berat badan

7 comments:

Siti Qotimah PTR 09 said...

asslkm pak,
jurnal yang sungguh menarik...
saya belum mengerti pak perbedaan dari EDK-etanol dan EDK-metanol,bagaimana proses pembuatan keduanya?

LIVESTOCK said...

Perbedaannya hanya pada proses esktraksi. EDK etanol adalah daun katuk yang diekstrak dg etanol, EDK-metanol adalah daun katuk yang diekstrak dg metanol. tq

Siti Qotimah PTR 09 E1C009013 said...

di indonesia organ dalam ayam atau lebih dikenal dengan jeroan itu masih di konsumsi dan banyak peminatnya. signifikan atau tidak berat organ dalam ayam yang diberi penambahan EDK dengan yang tidak, dan bagaimana dengan kandungan gizinya, ada perbedaan tidak Pak?

Ria Puspita Sari E1C009008 said...

saya sangat tertarik terhadap penelitian mengenai suplementasi EDK untuk unggas dikarenakan banyaknya manfaat dari daun katuk tsb. merupakan alternatif yang bagus untuk meningkatkan kualitas ternak. tetapi apakah pengaruh proses eksttraksi tidak menurunkan kadar nutrisi pada daun katuk pak? dan bagaimana cara memnimalisir terjadinya penurunan atau nutrisi hilang dari proses ekstraksi tsb??

hikman said...

hikman(e1c009056)
sangat menarik begitu banyak manfaat daun katuk yang diekstrak yang dilakukan penelitian, tapi bagaiman dengan kondisi organ dalam ternak tersebut, apa tidak merusak pertumbuhan ternak??

DIAH KASMIRAH said...

artikel yang cukup menarik untuk dibaca selain dapat dijadikan TDK tetapi katuk dapat diolah menjadi EDK yang juga banyak dimanfaaatkan dalam berbagai macam penelitian. EDK juga banyak mengandung berbagai macam khasiat yang sangat bermanfaat untuk ternak.

Anonymous said...

Hi, guantanamera121212

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...