Wednesday, June 1, 2011

RESPON AYAM BROILER TERHADAP PEMBERIAN RANSUM YANG MENGANDUNG LUMPUR SAWIT

SYARLI RAMAYANI  (EIC006026)

 ABSTRAK
Sampai saat ini, Indonesia masih mengimpor bahan pakan seperti jagung dan bungkil kedelai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jumlah impor ini terus meningkat sesuai dengan peningkatan kebutuhan akan produk peternakan. Dilain pihak, Indonesia memiliki bahan pakan lokal yang belum lazim dimanfaatkan. Salah satu diantaranya adalah lumpur sawit yang merupakan limbah pengolahan minyak sawit. Pada tahun 2001, produksi lumpur sawit (kering) diperkirakan sebanyak 632.570 ton dan jumlah ini akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan produksi minyak sawit. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa lumpur sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak sapi, domba, babi dan unggas.
Lumpur sawit mengandung serat kasar yang tinggi dan kecernaan gizi yang rendah sehingga penggunaannya untuk pakan unggas sangat terbatas. Proses fermentasi ternyata dapat meningkatkan kadar protein, asam amino dan energi termetabolis (TME) serta menurunkan kadar serat lumpur sawit. Pengujian biologis menunjukkan bahwa produk fermentasi lumpur sawit dapat digunakan hingga 10% di dalam ransum ayam broiler dan ayam kampung, tetapi di dalam ransum itik sedang tumbuh dapat digunakan sebanyak 15%.
 Kata kunci : Broiler,fermentasi lumpur sawit.

 Pendahuluan
 Broiler salah satu ternak unggas yang bisa menghasilkan daging dalam waktu yang relatif singkat. Namun demikian dalam pemeliharaan broiler, ransum merupakan faktor produksi yang membutuhkan biaya paling tinggi (60-70%). Harga ransum ayam di Indonesia relatif mahal dibandingkan dengan nilai jual produk unggas, sehingga tidak jarang peternak unggas mengalami kerugian.  Salah satu penyebab tingginya harga ransum di Indonesia adalah sebagian besar bahan dasar ransum masih diimpor. Misalnya, pada tahun 2001, Indonesia mengimpor jagung sebanyak 1.035.797 ton dan bungkil kedelai 1.570.187 ton (FAO, 2003).
Kebutuhan pakan unggas untuk Indonesia sangat tinggi, sesuai dengan tingginya produksi unggas. Ransum unggas yang diproduksi di pabrik makanan ternak terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ayam  ras, meskipun sebagian kecil ada yang digunakan untuk ayam buras, itik dan puyuh. Menurut perkiraan, produksi pakan nasional sekitar 6,5 juta ton/tahun (Anonymous, 2002).
Tingkat konsumsi daging rata-rata penduduk di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain. Sebagai gambaran, konsumsi daging ayam nasional penduduk Indonesia pada tahun 2001 hanya sebesar 3,9 kg/kapita/tahun, sedangkan penduduk Malaysia pada tahun yang sama mengkonsumsi daging ayam sebanyak 32,5 kg/kapita/tahun dan penduduk Thailand 12,8 kg/kapita/tahun (Anonymous, 2002). Dengan keadaan ini dapat diprediksi bahwa kebutuhan akan produk ternak di Indonesia masih terus akan bertambah. Hal ini juga akan meningkatkan kebutuhan akan pakan ternak di dalam negeri.
Pada umumnya pakan ternak unggas disusun dari jagung, bungkil kedelai, tepung ikan, dedak, minyak, asam amino sintetis dan bahan pelengkap (vitamin dan mineral). Pemenuhan kebutuhan bahan pakan ternak dalam negeri dapat dilakukan dengan impor, meningkatkan produksi pertanian lokal dan atau memanfaatkan bahan-bahan produksi lokal yang belum lazim digunakan. Sebagai negara yang mempunyai lahan cukup luas, seharusnya Indonesia lebih mengutamakan peningkatan produksi bahan pakan lokal daripada menggantungkan diri kepada impor. Akan tetapi, kenyataannya kita masih mengimpor jagung dalam jumlah banyak, meskipun tanaman ini sudah lama dikenal dan dibudidayakan oleh petani di Indonesia. Dalam pemanfaatan bahan pakan yang belum umum digunakan, harus memperhatikan beberapa hal seperti: jumlah ketersediaan, kandungan gizi, kemungkinan adanya faktor pembatas seperti zat racun atau zat anti-nutrisi serta perlu tidaknya bahan tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai pakan ternak (Sinurat, 1999). Salah satu bahan yang belum lazim digunakan dan cukup potensil untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak adalah lumpur sawit. Bahan ini merupakan hasil samping dari pabrik minyak sawit.
 Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh pemberian lumur sawit pada ransum broiler, yang
ukur ada bobot badan.
 Lumpur Sawit
Lumpur sawit merupakan limbah yang dihasilkan dalam proses pemerasan buah sawit untuk menghasilkan minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO).  Pada saat ini, lumpur sawit dihasilkan dengan dua cara, tergantung mesin peralatan yang dipakai yaitu dengan “slurry separator” atau dengan “decanter”. Sistem “decanter” akan menghasilkan lumpur sawit yang agak padat (meskipun masih mengandung air yang tinggi, sekitar 70−80%). Lumpur yang dihasilkan dengan “slurry separator” bentuknya encer sekali, sehingga biasanya dialirkan dan ditampung di kolam pembuangan. Sifat fisik yang demikian ini menimbulkan masalah alam pengangkutan lumpur sawit. Jumlah produksi lumpur sawit sangat tergantung dari jumlah buah sawit yang diolah. Menurut Devendra (1978), lumpur sawit (setara kering) akan dihasilkan sebanyak 2% dari tandan buah segar atau sekitar 10% dari minyak sawit kasar yang dihasilkan.
Bila pada tahun 2001 jumlah minyak sawit yang dihasilkan sebanyak 6.325.700 ton (BPS, 2002), maka jumlah lumpur sawit yang dihasilkan adalah sebanyak 459.590 ton kering/tahun.
 Kandungan Gizi Lumpur Sawit Dan Pemanfaatannya
Lumpur sawit yang dihasilkan industri pengolahan sawit masih belum dimanfaatkan secara ekonomi. Di areal perkebunan, lumpur sawit digunakan sebagai penimbun jurang, bahkan lumpur sawit sering dibuang sembarangan sehingga menimbulkan polusi bagi masyarakat di sekitar perkebunan (Yeong, 1982; Medan Pos, 1998).
Lumpur sawit kering mengandung zat gizi yang hampir sama dengan dedak, akan tetapi bahan ini mengandung serat yang cukup tinggi. Berbagai peneliti sudah melaporkan kandungan gizi lumpur sawit yang sangat bervariasi. Besarnya variasi ini mungkin tergantung pada banyak hal, termasuk pada perbedaan proses pemisahannya dari minyak sawit. Tingginya kadar serat kasar (11,5−32,69%) dan kadar abu (9−25%) dalam lumpur sawit, disamping ketersediaan asam amino yang rendah, menjadi faktor pembatas dalam pemanfatannya untuk bahan pakan ternak monogastrik (Hutagalung, 1978).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memanfaatkan lumpur sawit sebagai bahan pakan untuk ternak ruminansia dan non ruminansia. Sutardi (1991) melaporkan penggunaan lumpur sawit untuk menggantikan dedak dalam ransum sapi perah jantan maupun sapi perah laktasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penggantian semua (100%) dedak dalam konsentrat dengan lumpur sawit memberikan pertumbuhan dan produksi susu yang sama dengan kontrol (ransum tanpa lumpur sawit). Bahkan ada kecenderungan bahwa kadar protein susu yang diberi ransum lumpur sawit lebih tinggi dari kontrol. Menurut Chin (2002), pemberian lumpur sawit yang dicampur dengan bungkil inti sawit dengan perbandingan 50 : 50 adalah yang terbaik untuk pertumbuhan sapi. Sapi “droughtmaster” yang digembalakan di padang penggembalaan rumput Brachiaria decumbens hanya mencapai pertumbuhan 0,25 kg/ekor/hari, tetapi dengan penambahan lumpur sawit yang dicampur dengan bungkil inti sawit, mampu mencapai 0,81 kg/ekor/hari.
Penelitian penggunaan lumpur sawit sebagai pakan domba juga sudah dilakukan. Kecernaan gizi lumpur sawit pada ternak domba cukup tinggi, yaitu 70 – 89%,  72 – 90%  dan 63 – 84%, masing-masing untuk kecernaan bahan kering, bahan organik dan protein kasar (Devendra, 1978). Hasil penelitian Handayani et al. (1987) menunjukkan bahwa domba yang diberi pakan rumput lapangan secara ad libitum, yang diberi suplemen lumpur sawit sebanyak 0,9% dari bobot badannya menghasilkan pertumbuhan yang terbaik. Rahman et al. (1987) melaporkan bahwa pemberian 47% lumpur sawit dan 50% bungkil inti sawit dalam ransum kambing dan domba yang dipelihara secara intensif (“feedlot”), menghasilkan performans yang sama dengan kambing dan domba yang diberi ransum komersil.
Yeong dan Azizah (1987) melaporkan bahwa pemberian lumpur sawit kering dalam ransum ayam ras petelur hingga 20% tidak menyebabkan gangguan terhadap produksi telur, bobot telur, efisiensi penggunaan pakan dan kualitas (“haugh unit/HU”) telur. Level ini dianggap cukup aman untuk diberikan pada ayam ras petelur, tetapi lumpur sawit yang digunakan mengandung serat kasar (16,8%) yang cukup rendah dan protein (13,0%) yang cukup tinggi dibandingkan dengan kadar serat kasar dan protein lumpur sawit yang umum dilaporkan.
Perez (1997) mengemukakan bahwa lumpur sawit segar dapat diberikan didalam ransum ternak babi hingga 14% setara bahan kering. Dikemukakan juga bahwa lumpur sawit kering dapat diberikan hingga 20% dalam ransum ternak babi periode pertumbuhan/ penggemukan. Akan tetapi semakin tinggi pemberian lumpur sawit kering dalam ransum, menyebabkan penurunan performans ternak babi dan meningkatkan penimbunan lemak. Farrel (1986), menyarankan batas pemberian lumpur sawit dalam ransum ternak babi hanya 15%.
Hasil penelitian yang dilakukan di Balai Penelitian Ternak menunjukkan bahwa lumpur sawit kering hanya dapat diberi 5% di dalam ransum ayam pedaging (Sinurat et al., 2000). Pemberian pada taraf yang lebih tinggi dapat menyebabkan penurunan performans ayam (penurunan konsumsi ransum dan pertumbuhan yang lebih lambat), meskipun efisiensi pakan dan persentase karkas, lemak abdomen dan bobot relatif hati yang dihasilkan tidak mengalami perubahan dibandingkan kontrol (tanpa lumpur sawit). Penurunan konsumsi ransum ini diduga karena semakin meningkatnya kandungan serat kasar dengan meningkatnya kandungan lumpur sawit dalam ransum. Sebagai akibatnya, konsumsi zat gizi juga berkurang sehingga memperlambat pertumbuhan ternak.
 Kesimpulan Dan Saran
 Dari hasil beberapa penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa produk fermentasi lumpur sawit (FLS) kering dapat digunakan hingga 15%, sedangkan FLS segar hanya dapat digunakan hingga 10% (setara kering) dalam ransum ayam broiler. Pemberian FLS kering dengan kadar rendah (5%) menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik dari kontrol pada ayam broiler. Pemberian FLS kering maupun FLS segar tidak menimbulkan respon yang negatif terhadap karkas, lemak abdomen, dan organ (hati dan rempela) pada ayam broiler. Sedangkan pada perlakuan pemberian lumpur sawit yang telah difermentasikan dengan berbagai lama penyimpanan dapat disimpulkan bahwa lumpur sawit hasil fermentasi yang disimpan sampai dengan 3 bulan dapat diberikan sampai tingkat 10% dalam ransum ayam broiler.
 DAFTAR PUSTAKA
 ARNOLD P. SINURAT. 2001. Pemanfaatan lumpur sawit untuk bahan pakan unggas. JITV  5: 39 – 47.
 GUSTI AYU. 2000. Penggunaan asam lemak sawit untuk meningkatkan produksi ayam pedaging. FAPET UNCEN. Kupang.
 SINURAT, A.P., T. PURWADARIA, P. KETAREN, D. ZAINUDIN, dan I.P. KOMPIANG. 2000. Pemanfaatan lumpur sawit untuk ransum unggas. (1) Lumpur sawit kering dan produk fermentasinya sebagai bahan pakan ayam broiler. JITV 5: 107 – 112.
 SINURAT, A.P., I.A.K. BINTANG, T. PURWADARIA, dan T. PASARIBU. 2001. Pemanfaatan lumpur sawit untuk ransum unggas. (2) Lumpur sawit kering dan produk fermentasinya sebagai bahan pakan itik jantan yang sedang tumbuh. JITV 6: 28 – 33.
 SINURAT, A.P., T. PURWADARIA, T. PASARIBU, J. DARMA, I.A.K BINTANG dan M.H. TOGATOROP. 2001. Pemanfaatan lumpur sawit untuk ransum unggas: 3 Penggunaan produk fermentasi lumpur sawit sebelum dan setelah dikeringkan dalam ransum ayam pedaging. JITV 6: 107 – 112.
 SINURAT, A.P., T. PURWADARIA, H. SURACHMAN, H. HAMID, dan I.P.  KOMPIANG. 1998. Pengaruh suhu ruangan fermentasi dan kadar air substrat terhadap nilai gizi produk fermentasi lumpur sawit. JITV 3: 225 – 279.

14 comments:

Dian Rahayu (E1C008010) said...

ternyata rspon pemberian ransum sebagi pemberian pakan terhadap ayam broiler sangat bagus dan bermanfaat serta dapat memanfaatkan limbah sawit itu sendiri

Unknown said...

dari artikel ini saya bisa menarik kesimpulan respon yang diberikan ternak terhadap pemberian ransum yang mengandung lumpur sawit itu tergantung pada tingkat persentase pemberian lumpur sawit pada pakan itu sendiri.
sebelumnya maaf, sekedar koreksi pada judul ternak yang tertulis adalah ayam broiler tapi pada isi dan kesimpulan penulis mengkaji berbagai jenis ternak lainnya mulai dari kambing sampai sap. hal ini menurut saya menimbulkan efek kurang nyambung antara judul dgn isi artikel. mungkin judul artikelnya akan lebih pas jika kata 'ayam broiler' diganti dgn kata 'ternak'.
terima kasih

LIVESTOCK said...

Terima kasih Putri atas koreksinya.

Unknown said...

saya baru tau kalo serat kasar dari lumpur sawit bisa di rubah menjadi nutrisi yang baik untuk ternak dan dalamm artikel ini pakan lumpur sawit lebih baik dari pada dedak

Unknown said...

ternyata efek dari lumpur sawit terhadapt ternak sapi,babi,dan ayam mampu meningkatkan produktifitas ternak tersebut

Unknown said...

sprti yang di beri tahu dari artikel ini bahwa pakan indonesia masih banyk meningpor dari luar sehingga merugikan peternak,tetapi stelah membaca artikel ini,kita tak perlu lagi mengipor pakan ternak dari luar lagi,karena dengan lumpur sawit kita bisa mengatikan pakan ternak tersbut dan kita ketahui sawit di indonesia banyak sudah mencapai 6jtan dan lumpur sawit 4jtan apabila kalo lumpur sawit bisa di manfaatkan secara baik.maka peternak akan untug karena pakan ternak tiidak mahal lagi

Unknown said...

bangun dwi cahyono (E1C011009)
INI merupakan inovasi yang cemrlang karena limbah dapat diolah menjadi pakan ternak,, ini merupakan hal yang bagus untuk tambahan konsentrat,, untuk mengekonomiskan konsentrat yang semakin tidak menentu maka peternak dapat membuat makanan olahan sendiri untuk ternak sesuai keadaan ekonomis peternak

Unknown said...

selain biji karet ternyata limbah sawit dapat digunakan sebagai pakan ternak,, didesa saya selain penghasil karet juga penghasil sawit,, nah limbah y belum diolah seperti yang bapak tulis di artikel ini,,

Riko Herdiansah said...

dari kesimpulan artikel ini bisa menambah wawasan kita tentang lmpur yang tadinya kita pikir lmbah swit gak bagus untuk lingkungan, ternyata ada manfaatnya juga lumpur sawit di antaranya bisa dirubah menjadi nutrisi yang baik untuk ternak...

riko herdiansah said...

dari kesimpulan artikel ini bisa menambah wawasan kita tentang lmpur yang tadinya kita pikir lmbanh swit gak bagus untuk lingkungan, ternyata ada manfaatnya juga lumpur sawit di antaranya bisa dirubah menjadi nutrisi yang baik untuk ternak...

Riko Herdiansah said...

dari kesimpulan artikel ini bisa menambah wawasan kita tentang lmpur yang tadinya kita pikir lmbah swit gak bagus untuk lingkungan, ternyata ada manfaatnya juga lumpur sawit di antaranya bisa dirubah menjadi nutrisi yang baik untuk ternak...

Unknown said...

dari artikel atas manfaat bagian sawit sangat banyak,dan saya mengerti bahwa serat kasar pada sawit dapat dirubah

Dewi Syafani said...

dari artikel tersebut setelah saya membacanya , saya setuju dengan putri anggraini, menurut saya seharus nya yang lebih ditekan kan yaitu respon dari ayam broiler bukan dari ternak yang lainnya karena pembaca ingin mengetahui respon yang lebih banyak diberikan oleh ayam broiler, untuk lebih lanjutnya penulis supaya lebih baik lagi . trimksh

Senopka Wiraguna said...

senopka wiraguna
e1c011062
bgi saya tentang respon ayam boiler terhadap pemberian ransum yang mengandung lumpur sawit itu sangat bgus,apa lagi di pasaran skrg pedagang lgi resah karena krgnya faktor krgnya daging,dgn ini semoga bisa meningkatkan produksi dan reproduksi,terimaksih

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...